Triana Noor Utami (51), warga Sleman, DIY Yogyakarta tiba di YSGRA pukul 10.00. Ia datang bersama suami, anak, kakak, dan kemenakan. Ia berangkat dari rumahnya sekitar pukul 07.15.
"Saya masih kemenakan dari Eyang Bibi," ujar wanita yang wajahnya hampir serupa dengan sosok NH Dini.
NH Dini memang dikenal oleh kemenakannya dengan sebutan bibi. Mengingat usia beliau yang sudah sepuh, para kemenakan pun memanggilnya Eyang Bibi.
Triana sengaja datang langsung ke pemakaman karena waktu yang tidak memungkinkan bila ia harus menyambangi rumah duka.
Ia memilih memberikan doa terakhir jelang perpisahan dengan bibi yang memberinya panci teflon di hari pernikahannya 25 tahun silam.
"Eyang Bibi orang yang sangat disiplin dan perfeksionis," kenang Triana akan sosok wanita yang sempat mengelola taman baca di Sekayu, Kota Semarang.
Pada tahu 1984, Triana tengah menempuh pendidikan di Fakultas Hukum Undip.
Ia diminta untuk datang setiap akhir pekan guna membantu membereskan buku dan membersihkan kulkas.
Ia ingat, setiap membersihkan kulkas, ia diminta membuang semua makanan yang sudah tidak layak makan.
Bila masih ada yang layak makan, ia diminta untuk memakannya.
Kenangan Lintang
Kenangan juga tersemat pada Marie-Claire Lintang Coffin (57), anak sulung NH Dini.
Ia datang mengenakan kaos hitam dan kacamata hitam.
Selepas pemberian doa dari kerabat dan keluarga dekat pada almarhumah, Lintang memberikan sambutan.
Dalam bahasa Inggris, Lintang berterima kasih pada hadirin yang telah datang.
Suaranya yang terdengar gemetar.
Ia juga mengatakan berita kepergian ibunya cukup mengejutkan.
Ia menyampaikan permintaan maaf karena adiknya, Pierre-Louis Padang tidak dapat hadir karena masih berada di Paris, Perancis.
Lintang yang tinggal di Bandung dengan mudah menjangkau Semarang dalam hitungan jam.
Sayangnya, sang adik tidak demikian, sehingga saat ini tidak memungkinkan bagi Padang untuk hadir pada prosesi kremasi tersebut.
"Saya sangat menghargai kepedulian dan kehadiran anda sekalian. Terima kasih," ucapnya.
Lintang mendapatkan simpati dan ucapan bela sungkawa dari hadirin.
Mereka memberikan pelukan dan kecupan pada wanita berambut sebahu tersebut.
Lintang mengaku ingat sebagian orang yang datang dan memperkenalkan diri, namun ia tetap menyapa hadirin.
Sebagian yang memberikan ucapan bela sungkawa memintanya untuk berfoto. Lintang nampak tersenyum saat berfoto bersama orang-orang yang mencintai ibunya.
Selepas serangkaian prosesi doa, peti mati siap dimasukkan ke dalam tungku untuk dimulai sesi pembakaran.
Lintang mendapat kehormatan menyalakan tungku. Sesaat setelah melihat bara api menghanguskan peti, ia menangis.
Sebelumnya, ia justru nampak tegar dan memeluk beberapa kerabat yang nampak menangis.
Namun pada kesempatan kali ini, ia tak dapat menyembunyikan lagi kesedihannya.
Air mata mengalir melewati bingkai kacamatanya. Ia benar-benar mengucapkan selamat tinggal pada wanita yang melahirkannya.
Lintang menyampaikan di hadapan awak media bahwa ia dan adiknya bersepakat untuk menitipkan abu sang ibu di YSGRA sementara.
Ia perlu berdiskusi dengan sang adik, akan disemayamkan di mana abu tersebut.
Namun ia berencana melakukan perayaan atas karya-karya sang ibu di Bali. Karya-karya milik NH Dini yang belum sempat dipublikasikan.
Ketika ditanya tentang firasat jelang kehilangan, Lintang mengaku merasakan perasaan tersebut namun abaikan.
Ia awalnya tak menyadari itu merupakan firasat, namun ia mengingat beberapa waktu sebelum sang ibu berpulang, ia sempat bercengkrama dengan sang ibu.
Pada momen terakhir kebersamaan mereka, sang ibu mengucapkan selamat tinggal.
Ketika ia mengingat kembali hal tersebut, itu merupakan ucapan perpisahan yang indah.
(*)
Pierre Coffin