Berita Internasional

Kisah Kalistru Momode, Anak Timor Leste yang Diambil Tentara Indonesia pada Masa Perang

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi - Salah satu sudut Kota Dili, Timor Leste dengan latar belakang laut lepas dan patung Cristo Rei atau yang dalam bahasa Indonesia berarti Kristus Raja. Patung Cristo Rei merupakan salah satu tempat tujuan wisata favorit bagi wisatawan yang datang ke Dili.

TRIBUNJATENG.COM - Ingatan Alis mengenai keluarganya di Timor Leste sudah memudar.

Alis diambil oleh seorang tentara Indonesia saat masih berusia delapan tahun.

Lalu, suatu hari datanglah seseorang mencari dirinya.

Pulang Kerja, Wanita Ini Temukan Surat dari Driver Ojol di Bawah Pintu, Isinya Kini Viral

2 Dokter Semarang Kakak Adik Meninggal Karena Corona Menyusul Sang Ayah, Anak Istri Positif Covid-19

Anang Hermansyah Syok Lihat Sikap Aurel yang Berubah: Dia Sudah Berani Melawan

Misteri Meninggalnya Rara Si Bocah Malang, Ditemukan Tewas Telentang di Bawah Pohon

"Hati saya hancur karena telah meninggalkan ibuku di gereja," ujar Alis.

"Saya merasa bersalah sebab bila saya tak meninggalkannya, mungkin saya akan berada di sisinya saat beliau meninggal dunia."

"Mungkin saja saya beruntung dan menjalani kehidupan yang lebih baik.

Namun ibu dan ayah, yang telah kehilangan anaknya, tentu saja sangat menderita."

Di bawah bayang-bayang gedung Gereja Katolik berdinding cerah di Ainaro, Timor-Leste, Kalistru beranjak menuju jalan desa.

Dia masih kanak-kanak berusia delapan tahun.

Tak pernah terbersit dalam benaknya bahwa dia tidak akan pernah lagi melihat ibunya sejak itu.

Ini kejadian di tahun 1977, ketika Timor-Leste masih dalam situasi perang.

Dua tahun sebelumnya, tentara Indonesia masuk dan menduduki wilayah bekas jajahan yang ditinggalkan Portugis.

Terlalu muda untuk ikut dalam perjuangan seperti saudara-saudaranya, Kalistru selalu berada di sisi ibunya di tengah situasi kacau ketika itu.

"Selama beberapa dekade, kami pikir dia sudah mati," kata Laurencia, saudara perempuannya yang tertua.

"Kami tidak marah padanya."

"Ketika perang, suara peluru berdesing seperti suara jagung yang meledak di atas kompor.

Halaman
123

Berita Terkini