Luncuran awan panas juga terus terjadi susul menyusul.
Di kaki bukit Turgo, petaka mengerikan terjadi. Puluhan orang bergelimpangan tewas.
Korban paling banyak ditemukan di rumah warga yang saat itu menggelar hajat pernikahan Marijo dan Wantini.
Permukiman di Dusun Tritis, Ngandong, Turgo, dan Tegal, porakporanda.
Para petugas pengamatan Gunung Merapi yang bertugas waktu itu, menceritakan bagaimana detik-detik mengerikan itu terjadi.
Pada detik-detik kejadian itu, Panut sedang menerima telepon dari kerabat tetangganya di Jakarta.
Ia dalam posisi lepas kerja, di rumahnya di Kaliurang. Pos Plawangan terletak di puncak bukit Kaliurang.
Waktu kejadian hanya dijaga Sugiyoto, yang menunggu kedatangan partner kerja satu shift.
Panut sehari sebelumnya lepas piket. Sore 21 November 1994, ia tak melihat gejala gunung itu bakal meletus. Tapi cuaca lebih cerah. Bahkan hawa terasa sangat gerah di Kaliurang.
Rupanya, saat Panut menerima telepon dari kerabat tetangganya di Jakarta. Sugiyoto juga meneleponnya.
Kelak diketahui, Sugiyoto hendak mengabarkan Merapi meletus. Awan panas meluncur bergulung-gulung ke barat daya .
“Selesai menerima telepon itu, saya mendengar suara gemuruh dari arah puncak Merapi.
Wah, meletus, pikir saya,” kata Panut di kediamannya di Kaliurang, Sabtu (21/11/2020).
“Saya langsung lari pontang-panting menuju Tlogo Nirmolo,” sambung petugas pengamat Merapi sejak 1975 ini.
“Belum ada motor waktu itu. Lari sekitar 1,5 kilometer dari rumah ini ke Tlogo Nirmolo. Saya bilang ke petugas penjaga loket, Merapi meletus, berjaga-jaga, dan jangan izinkan siapapun naik ke Plawangan,” ungkap Panut yang diangkat jadi PNS sejak 1981.