Hanya yang mampu bayar
Selama ini akses untuk menganyam pendidikan selalu diasosiasikan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Itu sebabnya calon peserta didik datang dengan bermodalkan rekening orang tuanya, bukan dengan ketajaman pikirannya.
Jika itu ukurannya pendidikan telah menjadi agama baru bernama industri pengetahuan. Pendidikan dijalankan atas dasar keuntungan. Sejatinya pendidikan ialah unit-unit kebudayaan yang tidak menghitung untung dan rugi. Ajaib jika pendidikan dijalankan dengan konsep korporasi-privatisasi. Lebih berbahaya lagi jika masyarakat meyakini itu sebagai ketentuan yang berlaku. Doktrin itu dinilai berguna jika masyarakat tidak mempunyai argumentasi apa pun selain menganggukkan kepala.
Sejatinya lembaga pendidikan seperti sekolah adalah tempat undangan untuk berpikir. Itu ontologisnya sejak zaman Plato: Akademia. Kini di era modernisme yang ditandai Tuhan baru bernama industri, persoalan etis pendidikan mencuat saat keterangan tambahan dalam catatan kaki “pendidikan” berbunyi: “Hanya calon peserta didik yang sanggup membayar.”
Jika aturan itu yang diberlakukan, sekolah tak ubahnya ibarat jalan tol. Kata Ivan Illich: “Hanya mereka yang mampu membayar akan dengan leluasa masuk pada pendidikan di sekolah dan menikmatinya. Bagi mereka yang tidak mampu membayar, mereka tidak punya kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah.”
Oleh karena itu, ikrar pendidikan harus diniatkan ulang oleh pemerintah untuk memastikan akses pendidikan bagi peserta didik tegak lurus dengan keadilan sosial. Dengan begitu, pendidikan dalam pengertian sekolah dapat menjalankan visi humanioranya; membangun manusia Indonesia yang berpikir dan berbudaya, bukan mereproduksi “manusia-manusia romusha.”
Jika para elite pemegang kekuasaan membangun dunia pendidikan tanpa kepekaan keadilan, maka yang terjadi ialah “pembangkangan sosial.” Meminjam Sosiolog Ariel Heryanto (1986); “Jangan cari ilmu di sini,” kata seorang Mahaguru pada mahasiswa di kampusnya. “Di sini tempat cari ijazah. Cari ilmu di luar sana. Tanpa bayar. Tanpa pendaftaran. Tanpa jadwal.” (*)
Baca juga: Efektifitas Vaksin AstraZeneca, Sinovac, dan Pfizer Melawan Varian Delta, Mana yang Lebih Ampuh?
Baca juga: Hotline Semarang : Peninggian Jalan Cilosari Bugangan Kapan Diselesaikan?
Baca juga: Pengakuan Gadis 19 Tahun Pembuang Bayi di Brebes: Saya Lahirkan Sendiri Lalu Saya Masukan Plastik
Baca juga: Setelah 26 Tahun Telkomsel Resmi Ganti Logo, Begini Maknanya