Oleh Ade Mulyono
Pemerhati Pendidikan Pedagogi Kritis
SUDAH lebih dari setahun ini dunia pendidikan sedang dihadapkan pada posisi yang dilematik. Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan civitas pendidikan jungkir balik. Metode pembelajaran jarak jauh (PJJ) dengan mekanisme daring sebenarnya tidak dikenal dalam pendidikan arus utama.
Mengingat pembelajaran ini mensyaratkan infrastruktur digital sebagai alat penunjang utamanya. Tetapi, Indonesia bukanlah negara-negara Skandinavia yang akses dan mutu pendidikannya merata. Indonesia juga bukan Amerika dan Eropa yang sudah teruji karena mempunyai tradisi literasi kuat yang sudah dibentuk berabad-abad.
Bergaya bank
Sialnya lagi pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan kesenjangan semakin menganga, antara peserta didik dari kelas sosial atas dengan kelas sosial bawah dalam mengakses pembelajaran berbasis daring, melainkan juga mengembalikan tradisi lapuk: pendidikan “gaya bank” (banking concept of education).
Tanpa disadari baik sekolah maupun universitas dalam proses pembelajarannya pengajar tampil menjadi “tukang instruksi” kepada peserta didiknya. Minimnya materi dan implementasi dalam pembelajaran seakan-akan dibiarkan tanpa ada evaluasi dari pemerintah. Perlu diketahui produksi kesadaran kritis tidak lahir dalam proses pembelajaran yang antidialogik semacam ini.
Dengan kata lain, ada yang salah dalam pembelajaran berbasis daring selama pandemi ini. Memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada peserta didik secara rutin menandakan ketidakpekaan pengajar yang kering dengan muatan filosofis.
Meminjam Freire: pendidikan yang sejati tidak dilaksanakan oleh A untuk B atau oleh A tentang B, tetapi justru oleh A bersama B dengan dunia sebagai medianya. Inilah filosofis etis pendidikan kritis di mana pendidik dan peserta didik secara bersama aktif mengaktualisasikan diri dalam proses pembelajaran.
Meski kita tidak bisa mengingkari bahwa digitalisasi pendidikan adalah konsekuensi logis dari kemajuan zaman. Fakta modernisme yang tidak mungkin diperangi. Tetapi memaksa peserta didik untuk patuh dan membungkuk pada sesuatu yang belum dikenalinya ialah sebuah “penindasan.”
Pada akhirnya kita menyaksikan peserta didik teralineasi dengan dunianya. Memaksakan digitalisasi pendidikan kepada peserta didik yang dilakukan secara hegemonik hanya akan menyebabkan peserta didik “bunuh diri secara sosial.”
Matinya kurikulum humaniora
Kecemasan tentang turunnya kualitas mutu pendidikan di tengah kepungan pandemi, bisa dikatakan karena absennya fungsi fakultas-fakultas kemanusiaan, matinya “kurikulum humaniora.” Misalnya, instruksi pendidikan tatap muka yang rencananya akan dimulai pada tahun ajaran baru (2021), menandakan ada kepentingan pragmatis yang dilakukan pemerintah.
Mengingat selama ini keberhasilan pendidikan hanya diukur dari satu aspek praktis: pendidikan yang diorientasikan dengan dunia industri. Pasca-pembelajaran dari sekolah dan universitas yang kerap dinilai dengan kacamata pasar: penyerapan tenaga kerja. Pendeknya, lembaga pendidikan tak ubahnya industri yang hanya memasok manusia pekerja. Idealnya “visi humaniora” memimpin peradaban, memajukan instalasi kebudayaan.
Pendidikan yang demikian, sejatinya gagal membuat peserta didik untuk berpikir memahami dirinya dan dunianya. Seharusnya kemajuan sebuah lembaga pendidikan bukan diukur dari aspek teknis, melainkan perlunya menggunakan rumus etis. Fungsi pendidikan untuk menghasilkan manusia yang berpikir, juga harus didukung pemerintah yang bernalar: menyiapkan pendidikan murah ialah salah satunya.
Hanya yang mampu bayar
Selama ini akses untuk menganyam pendidikan selalu diasosiasikan seberapa banyak uang yang dimilikinya. Itu sebabnya calon peserta didik datang dengan bermodalkan rekening orang tuanya, bukan dengan ketajaman pikirannya.
Jika itu ukurannya pendidikan telah menjadi agama baru bernama industri pengetahuan. Pendidikan dijalankan atas dasar keuntungan. Sejatinya pendidikan ialah unit-unit kebudayaan yang tidak menghitung untung dan rugi. Ajaib jika pendidikan dijalankan dengan konsep korporasi-privatisasi. Lebih berbahaya lagi jika masyarakat meyakini itu sebagai ketentuan yang berlaku. Doktrin itu dinilai berguna jika masyarakat tidak mempunyai argumentasi apa pun selain menganggukkan kepala.
Sejatinya lembaga pendidikan seperti sekolah adalah tempat undangan untuk berpikir. Itu ontologisnya sejak zaman Plato: Akademia. Kini di era modernisme yang ditandai Tuhan baru bernama industri, persoalan etis pendidikan mencuat saat keterangan tambahan dalam catatan kaki “pendidikan” berbunyi: “Hanya calon peserta didik yang sanggup membayar.”
Jika aturan itu yang diberlakukan, sekolah tak ubahnya ibarat jalan tol. Kata Ivan Illich: “Hanya mereka yang mampu membayar akan dengan leluasa masuk pada pendidikan di sekolah dan menikmatinya. Bagi mereka yang tidak mampu membayar, mereka tidak punya kesempatan untuk memperoleh pendidikan di sekolah.”
Oleh karena itu, ikrar pendidikan harus diniatkan ulang oleh pemerintah untuk memastikan akses pendidikan bagi peserta didik tegak lurus dengan keadilan sosial. Dengan begitu, pendidikan dalam pengertian sekolah dapat menjalankan visi humanioranya; membangun manusia Indonesia yang berpikir dan berbudaya, bukan mereproduksi “manusia-manusia romusha.”
Jika para elite pemegang kekuasaan membangun dunia pendidikan tanpa kepekaan keadilan, maka yang terjadi ialah “pembangkangan sosial.” Meminjam Sosiolog Ariel Heryanto (1986); “Jangan cari ilmu di sini,” kata seorang Mahaguru pada mahasiswa di kampusnya. “Di sini tempat cari ijazah. Cari ilmu di luar sana. Tanpa bayar. Tanpa pendaftaran. Tanpa jadwal.” (*)
Baca juga: Efektifitas Vaksin AstraZeneca, Sinovac, dan Pfizer Melawan Varian Delta, Mana yang Lebih Ampuh?
Baca juga: Hotline Semarang : Peninggian Jalan Cilosari Bugangan Kapan Diselesaikan?
Baca juga: Pengakuan Gadis 19 Tahun Pembuang Bayi di Brebes: Saya Lahirkan Sendiri Lalu Saya Masukan Plastik
Baca juga: Setelah 26 Tahun Telkomsel Resmi Ganti Logo, Begini Maknanya