TRIBUNJATENG.COM -- Co-inisiator Lapor Covid-19, Ahmad Arif menyebut, fenomena kasus kematian pasien covid-19 yang sedang menjalani isolasi mandiri yang terus meningkat dan meluas menunjukkan sejumlah indikasi.
"Kematian pasien isoman adalah indikator nyata bahwa fasilitas kesehatan sudah kewalahan. Pemerintah kan tidak mau dibilang kolaps, tapi kenyataannya fasilitas kesehatan sudah tidak mampu menampung pasien, sehingga pasien bergejala sedang sampai berat terpaksa harus isolasi mandiri," tuturnya.
"Dia (pasien covi-Red) sudah datang ke rumah sakit dan sudah mencoba cari (perawatan), tapi penuh dan tidak tahan antre akhirnya pulang dan meninggal, atau dalam perjalanan ke beberapa rumah sakit dan meninggal," jelasnya.
Indikasi kedua, Arif menuturkan, pasien-pasien itu tidak menyadari dirinya telah terpapar covid-19 atau baru dites PCR/antigen dalam situasi terlambat. Akibatnya, mereka juga terlambat memperoleh penanganan fasilitas kesehatan, sehingga meninggal di rumah.
Situasi itupun diamini Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Zubairi Djoerban.
Ia menyebut, banyak pasien covid-19 tanpa gejala atau bergejala ringan ternyata sudah menderita pneumonia ketika difoto rontgen toraks, sehingga rentan mengalami pemburukan kesehatan jika tak dirawat.
"Puskesmas juga sudah tidak bisa merujuk, karena (rumah sakit-Red) sudah penuh. Mereka yang minta rujukan (rumah sakit-Red) ke Lapor Covid-19 rata-rata puskesmasnya sudah menyerah tidak bisa merujuk," ucapnya.
"Puskesmas sudah kewalahan juga memantau (pasien isolasi mandiri-Red), karena tenaga-tenaga puskesmas banyak juga yang positif covid-19," tambah Arif.
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) DKI Jakarta, Slamet Budiarto menilai, ada sejumlah faktor yang menyebabkan banyak pasien covid-19 meninggal dunia saat menjalani isolasi mandiri.
Faktor paling utama adalah tak adanya dokter yang memantau kondisi pasien setiap harinya.
"Mereka itu bingung mau nanya ke siapa, enggak ada dokter pendampingnya. Kalau di luar negeri itu ada dari dokter yang tiap hari video call memantau kondisi pasien isolasi mandiri," katanya, kepada Kompas.com, Kamis (22/7).
Dengan memantau pasien isolasi mandiri, dia menambahkan, dokter bisa melakukan deteksi dini sebelum terjadinya pemburukan kondisi pada pasien.
Dokter pun bisa memberi penanganan yang tepat seperti memberi obat-obatan atau merujuk pasien ke RS.
"Tapi masalahnya jumlah dokter kita terbatas. Untuk menangani pasien di rumah sakit saja kurang, apalagi untuk memantau yang isolasi mandiri," tandasnya.
Ia menilai, fasilitas telemedicine yang disediakan pemerintah tidak bisa menjadi solusi. Sebab, dengan fasilitas itu, dokter tetap tak bisa mengawasi perkembangan kondisi pasien dari hari ke hari. "Dan tidak semua orang bisa mengakses telemedicine itu," ujarnya.
Slamet sudah mengusulkan solusi agar pemerintah segera mempekerjakan 3.500 lulusan fakultas kedokteran untuk bisa memantau pasien isolasi mandiri.
Namun, mereka justru terhambat oleh aturan uji kompetensi di Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi.
Faktor lain yang membuat banyak pasien meninggal dunia saat isoman, menurut dia, adalah kurangnya ketersediaan obat-obatan dan oksigen.
"Sekarang dia mau beli obat enggak ada di apotek, oksigen apalagi. Ini jadi bencana kemanusiaan menurut saya," tukasnya.
Faktor ketiga, Slamet berujar, adalah penuhnya rumah sakit rujukan covid-19. Banyak pasien yang kesulitan mencari rumah sakit karena hampir semuanya sudah penuh.
Pasien isolasi mandiri juga kerap baru datang ke RS setelah kondisi mereka memburuk. "Rata-rata yang datang ke IGD itu (saturasinya) sudah di bawah 90. Sudah terlambat sekali," terangnya.
Perhatikan Kasus Tak Teridentifikasi
LaporCovid-19 meminta pemerintah memperhatikan kasus covid-19 yang tidak teridentifikasi atau under reporting cases, menyusul keberadaannya yang berpotensi menjadi faktor sulitnya mengatasi masifnya penyebaran virus corona.
Co-Founder LaporCovid-19, Irma Hidayana mengungkapkan, kasus tidak teridentifikasi memiliki dampak yang cukup berbahaya, dan telah menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO).
"Ini sudah diwanti-wanti oleh WHO, harus diidentifikasi, karena kalau kita punya under reporting cases, kematian atau kasus (infeksi-Red) yang tidak ditemukan, itu bahaya," katanya, dalam diskusi virtual yang diadakan Indonesia Corruption Watch (ICW), Kamis (22/7).
Menurut dia, dampak dari banyaknya kasus covid-19 yang tidak teridentifikasi adalah meningkatnya penyebaran di tingkat lokal yang tidak terdeteksi.
"Konsekuensinya akan meningkatkan transmisi di tingkat lokal karena ketidaktahuan masyarakat bahwa orang di sekitarnya terinfeksi covid-19. Ini bisa menular ke mana-mana," jelasnya.
Irma menduga masih banyak kasus Covid-19 di Indonesia yang belum terindefikasi. Satu indikasinya adalah perbedaan data antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
"Kalau dihitung angka-angka di level kabupaten, kota, provinsi hingga nasional itu berbeda. Angka kematian beda, kadang angka penambahan kasus beda, Nah ini yang kemudian LaporCovid-19 menyoroti (adanya-Red) under reporting cases," paparnya.
Irma mendorong pemerintah memperhitungkan hal itu untuk mengambil kebijakan dalam melakukan penanganan pandemi covid-19.
"Itu harus diperhitungkan, karena itu juga dilakukan oleh pemangku kepentingan, pembuat kebijakan untuk memformulasikan kebijakan, supaya kebijakan yang diambil merepresentasikan kondisi di lapangan," tandasnya.
Adapun, satu penyebab angka kematian yang meningkat akibat covid-19 adalah terlambatnya deteksi dini pada pasien. Hal itu diungkapkan ahli epidemiologi Griffith University, Australia Dicky Budiman.
Menurut dia, minimnya deteksi di tahap awal itu menyebabkan pasien terlambat mendapatkan penanganan medis.
"Sehingga mereka terlambat terdeteksi, terlambat dirawat. Jadi datang sudah dalam kondisi parah, saturasi oksigennya sudah berat," terangnya.
Hal itupun saat ini diduga menjadi satu faktor penyebab tingginya angka kematian covid-19 di Tanah Air yang terus mencatatkan lonjakan di atas 1.000 kasus/hari. Bahkan, tercatat banyak pasien meninggal di luar fasilitas kesehatan atau saat isolasi mandiri.
Berdasarkan hal tersebut, LaporCovid-19 merekomendasikan agar pemerintah memperbanyak tempat isolasi terpusat dengan memanfaatkan gedung-gedung pemerintahan atau sekolah yang dilengkapi dengan tenaga kesehatan.
Selain itu, pemerintah juga diimbau mengoptimalkan konsultasi melalui telemedisin, pemantauan pasien isolasi mandiri dengan memberikan dukungan sosial, ekonomi, dan medis.
"Pentingnya edukasi bagi pasien yang menjalani isolasi mandiri, dan meningkatkan keterlibatan pemerintah hingga level terkecil untuk mendukung pasien isoman," papar Data analyst LaporCovid-19, Said Fariz Hibban. (Kompas.com/Tatang Guritno/Ihsanuddin/Vitorio Mantalean)
Baca juga: Resep Bola-bola Daging Sapi Menu Spesial Makan Siang
Baca juga: Bupati Ini Hanya Geleng-geleng Saat Pimpin Razia Temukan Warganya Pakai Masker dari Daun agar Lolos
Baca juga: Mimpi Jadi Kenyataan, Richarlison Cetak Hattrick untuk Kemenangan Brasil di Olimpiade Tokyo 2021
Baca juga: Anggota KKB yang Dulu Serang Tito Karnavian hingga Kabur dari Penjara Ditangkap, Inilah Sosoknya