OPINI

OPINI : Beban Psikologis Napi yang Bebas di Tengah Pandemi

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ilustrasi

oleh Panggih Priyo Subagyo, SPsi

ASN Kemnterian Hukum dan HAM

SATU di antara pihak yang diutungkan dengan adanya pandemi ini adalah para narapidana. Bagaimana tidak, sebagian besar mereka mendapatkan diskon menjalani pidana penjara melalui kebijakan asimilasi di rumah.

Mereka bisa bebas lebih cepat dari waktu yang telah ditetapkan sebelumnya. Tentunya mereka masih dikenakan wajib lapor. Bagaimanapun juga, keluar dari penajara adalah hal yang didambakan para napi. Mereka bisa kembali berkumpul bersama keluarga dan kembali menjalani kehidupan seperti semula.

Pada periode April 2020 sampai dengan Juni 2021 program asimilasi di rumah telah membebaskan 90.102 narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Tentu jumlah ini tidak bisa dibilang sedikit. Kebijakan inipun masih berlanjut sampai 31 Desember 2021.

Pembebasan di tengah pandemi itu sudah sepatutnya disyukuri oleh para narapidana. Namun bagaimana kemudian nasib mereka setelah keluar dari lapas/rutan.

Saya jadi teringat kisah laki-laki bernama Brooke di film The Shawshank Redemption. Setelah keluar dari penjara Brooke kesulitan untuk diterima di masyarakat. Akhirnya Brooke lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Beban Psikologis

Salah satu napi yang mendapatkan program asimilasi di rumah sebut saja BG, awalnya sangat bahagia bisa kembali berkumpul dengan keluarga. Sebelumnya ia terjerat kasus pencurian sehingga harus mendapat hukuman penjara selama 1 tahun 6 bulan.

Sayangnya kebebasan BG tidak disambut baik oleh masyarakat sekitarnya.

Program asimilasi di rumah memang awalnya banyak mendapat penolakan dari masyarakat. Dikhawatirkan para narapidana yang dibebaskan akan kembali berulah. Sehingga meningkatkan angka kriminalitas di masyarakat. Hal itu tentu semakin menguatkan stigma negatif terhadap mereka yang baru saja bebas.

Masyarakat kita memang masih belum bisa melepaskan stigma negatif terhadap mantan narapidana. Seakan mereka masih belum percaya bahwa para napi telah berubah menjadi lebih baik setelah menjalani pembinaan di lapas/rutan.

Sekali berbuat salah akan selamanya salah, mungkin itu yang masih tertanam di benak masyarakat.

Tentu stigma negatif masyarakat itu sangat merugikan mantan narapidana. Mereka akan terancam teralienasi dari lingkungan sosialnya.

Mantan narapidana dipersempit ruang geraknya dan kehilangan kesempatan untuk berkontribusi di masyarakat. Hal ini tidak bisa diabaikan begitu saja. Alih-alih memberikan efek jera, stigma negatif justru memperburuk kondisi psikologis mantan napi.

Halaman
123

Berita Terkini