Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak, mengatakan mark up yang dimaksud termuat dalam waktu perjanjian tahun 2013 hingga saat ini.
Sementara, manipulasi data ditemukan dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat.
"Mark up penyewaan pesawat Garuda Indonesia yang mengakibatkan kerugian keuangan negara dengan waktu perjanjian tahun 2013 sampai dengan saat ini dan manipulasi data dalam laporan penggunaan bahan bakar pesawat," terang Leonard dalam keterangan tertulis, Selasa (11/1/2022), dikutip dari Kompas.com.
Terkait dugaan tersebut, Kejagung telah membuka penyelidikan.
Surat penyelidikan ini telah keluar sejak 15 November 2021 dengan nomor: Print-25/F.2/Fd.1/11/2021.
Dalam pemeriksaannya, diketahui bahwa berdasarkan Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2009-2014 terdapat rencana kegiatan pengadaan penambahan armada sebanyak 64 pesawat yang dilakukan Garuda Indonesia.
Penambahan armada itu dilakukan menggunakan skema pembelian (financial lease) dan sewa (operation lease buy back) melalui pihak lessor.
Leonard menjelaskan, sumber dana yang digunakan dalam rencana penambahan jumlah armada tersebut menggunakan lessor agreement.
Di mana pihak ketiga akan menyediakan dana dan Garuda Indonesia kemudian akan membayar kepada pihak lessor melalui skema pembayaran secara bertahap dengan memperhitungkan waktu pengiriman terhadap inflasi.
Selanjutnya, atas RJPP tersebut direalisasikan beberapa jenis pesawat, yakni ATR 72-600 sebanyak 50 unit dengan rincian pembelian lima unit dan penyewaan 45 unit.
Kemudian pesawat CRJ 1000 sebanyak 18 unit pesawat yang terdiri atas pembelian enam unit dan penyewaan delapan unit.
Dalam prosedur rencana bisnis pengadaan atau sewa pesawat di Garuda Indonesia, kata Leonard, direktur utama membentuk tim pengadaan sewa pesawat atau tim gabungan yang melibatkan personel dari beberapa direktorat perusahaan tersebut.
Mulai dari direktorat teknis, niaga, operasional, dan layanan atau niaga yang akan melakukan kajian dan dituangkan dalam bentuk paper hasil kajian.
Sementara, feasibility study atau studi kelayakan disusun oleh tim atas masukan oleh direktorat terkait yang mengacu pada rencana bisnis yang telah dibahas.
Menurutnya, dalam pembahasan anggaran harus selaras dengan perencanaan armada dengan alasan kelayakan, riset, kajian, tren pasar, hingga habit penumpang yang dapat dipertanggungjawabkan.