Edwin bahkan menyebut apa yang terjadi di rumah Terbit itu adalah penyiksaan paling keji yang pernah ditanganinya.
"Sepanjang saya melakukan advokasi terhadap korban kekerasan selama kurang lebih 20 tahun saya belum pernah menemukan kekerasan sesadis ini. Belum pernah menemukan kekerasan sesadis ini," tutur Edwin.
Edwin mengatakan, pihaknya menemukan adanya tindak pidana meliputi penganiayaan, penyiksaan, perbudakan, sampai merendahkan martabat di kerangkeng Terbit Rencana.
Kemudian ada korban yang mengalami pincang karena kaki dilempar ganco, empat gigi tanggal empat, jari kaki kanan dan kiri cacat karena didudukkan pada kursi besi, kemaluan disundut rokok.
Akibatnya belasan korban mengalami gangguan jiwa, stres lantaran setiap hari disiksa, diperbudak sebagai buruh dengan jam kerja nyaris 24 jam, dan diberi makan tidak layak.
Penyiksaan juga mengakibatkan sejumlah korban meninggal, dan biadabnya ada jenazah yang dimandikan dengan air kolam ikan oleh 'pengurus' kerangkeng lalu dikafankan begitu saja.
Pernyataan Edwin sebagai pimpinan LPSK yang menangani perlindungan korban berbagai kasus tindak pidana, mulai pidana umum hingga terorisme atas kejinya kasus Langkat bukan tanpa sebab.
Lebih rendah dari binatang
Perbuatan Terbit ke para manusia kerangkeng itu dirasa lebih rendah dari yang binatang lakukan sekalipun.
LPSK menemukan ada serangkaian perbuatan merendahkan martabat seperti dipaksa minum air kencing sendiri dan penghuni lain, hingga dipaksa melakukan hubungan sesama jenis.
"Jadi kedua korban disuruh berhubungan (seks) dan direkam.
Dipaksa mengunyah cabai setengah kilogram. Sudah dikunyah lalu cabai itu dilumuri ke muka, kemudian dioles ke alat kelamin," lanjut dia.
Tak berhenti di situ, ada korban yang dipaksa menjilat kemaluan anjing, dipaksa melakukan lomba onani, makan nasi yang sudah diludahi.
Dalam hal ini LPSK mendapati kerangkeng dikelola ibarat Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), di mana Terbit merupakan Ketua, Wakilnya berinisial DW, belasan pembina, dua orang Kepala Lapas.
Keamanan, bahkan ada sejumlah korban yang tidak ubahnya berperan sebagai tahanan pendamping (Tamping) pada Lapas resmi dengan tugas membantu 'mengelola' kerangkeng.