Berita Internasional

Parlemen Rusia Sebut Sejak Awal Siap Teken Perjanjian Damai, Tapi Zelensky Tak Merespons

Editor: m nur huda
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

HANCUR - Asap tampak mengepul dari bangunan dan lingkungan yang hancur akibat serangan Rusia di pusat perbelanjaan Retroville dan distrik perumahan Kyiv, Ukraina, pada 21 Maret 2022.

TRIBUNJATENG.COM, MAPUTO - Ketua Dewan Federasi atau Majelis Tinggi Parlemen Rusia, Valentina Matviyenko, menyatakan Rusia terbuka untuk pembicaraan dengan Ukraina dan menandatangani perjanjian yang akan mengarah pada perdamaian.

Matviyenko berkata demikian pada Selasa (31/5/2022), dalam pertemuan dengan Presiden Mozambik Filipe Nyusi.

Delegasi Dewan Federasi yang dipimpin oleh Matviyenko sedang melakukan kunjungan resmi ke Mozambik dari Senin (30/5/2022) hingga Rabu (1/6/2022) ini.

Baca juga: Rusia Telah Kuasai Setengah Kota Severodonetsk Ukraina Timur

Baca juga: 2 Tentara Rusia yang Tertangkap Ukraina Diadili, Divonis 11 Tahun Penjara Kasus Kejahatan Perang 

"Kami terbuka untuk pembicaraan. Saya benar-benar setuju dengan posisi Anda bahwa solusi diplomatik dan damai diperlukan. Tetapi, kemauan untuk itu diperlukan di kedua belah pihak. Kami tegaskan kembali bahwa kami siap untuk pembicaraan, untuk menandatangani perjanjian yang akan menghentikan sipil berada di Ukraina dan mengarah pada perdamaian,” ungkap dia, dikutip dari Kantor Berita Rusia, TASS.

Ketua Dewan Federasi Rusia Valentina Matviyenko. (Alexei Danichev/POOL/TASS)

Namun, kata Matviyenko, Rusia tidak melihat reaksi dari Kyiv untuk menyambut perjanjian perdamaian itu.

Dia ingat bahwa sebelum dimulainya operasi militer khusus di Ukraina, Rusia telah melakukan pembicaraan dengan mitra Barat dan Amerika Serikat (AS) yang menuntut keamanan bersama dan tak terpisahkan untuk dipastikan di benua Eropa.

Pasalnya, Matviyenko menyebut, komitmen tersebut tertulis di semua dokumen internasional.

Baca juga: Biden Setuju Kirim Rudal Jarak Jauh Presisi Ke Ukraina, Tapi Dilarang Buat Serang Wilayah Rusia

“Sayangnya, kami tidak menerima tanggapan yang memadai. Dan, setelah Ukraina mengatakan ingin menjadi kekuatan nuklir dan ketika kami melihat bagaimana negara itu dibanjiri dengan senjata, termasuk senjata ofensif, serta mengetahui mereka merencanakan serangan bersenjata ketiga di wilayah Donetsk dan Luhansk. Tentu saja, kami tidak punya jalan keluar lain, tidak ada pilihan lain untuk memastikan keamanan kami," tuding dia.

Lebih lanjut, Matviyenko menuding, Rusia dan Ukraina pernah hampir menandatangani perjanjian damai, tetapi kekuatan eksternal yang mengendalikan Kiev tidak merestuinya.

"Ngomong-ngomong, kami secara bersamaan pernah merundingkan perjanjian damai dengan Ukraina. Kami menarik pasukan dari Kyiv, Kharkov, dan perjanjian yang dapat diterima untuk Ukraina dan Rusia praktis sudah siap," ungkap dia.

"Istilah kuncinya adalah bahwa Ukraina akan tetap menjadi negara netral di luar blok, seperti Austria misalnya, bahwa itu akan menjadi negara non-nuklir. Tapi, sayangnya, mereka yang melakukan kontrol eksternal tidak membiarkan menandatangani perjanjian ini," tuding Matviyenko.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky sebelumnya mengatakan kepada Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, bahwa dirinya ingin bertemu dengan Presiden Rusia Vladimir Putin.

Perundingan Rusia-Ukraina telah dilakukan sejak 28 Februari.

Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, dulunya komedian dan aktor (Kompas.com)

Beberapa pertemuan diselenggarakan di Belarus, kemudian kedua pihak melanjutkan negosiasi dalam format konferensi video.

Putaran pembicaraan offline berikutnya berlangsung di Istanbul pada 29 Maret. Namun pada 12 April,

Halaman
12

Berita Terkini