TRIBUNJATENG.COM, JAKARTA -- Di hadapan para pemimpin redaksi media massa nasional di Istana, Jakarta, Senin (29/5) lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan tetap akan cawe-cawe pada pemilihan presiden (Pilpres) 2024.
Namun, dia menyebut, cawe-cawe atau mencampuri urusan kontestasi politik ini dalam arti yang positif. Cawe-cawe yang dimaksud, menurut Jokowi, tentu masih dalam koridor aturan dan tidak akan melanggar undang-undang.
"Saya tidak akan melanggar aturan, tidak akan melanggar undang-undang," kata Jokowi saat bertemu dengan para pemimpin redaksi media massa nasional di Istana, Jakarta, Senin (29/5) sore.
"Tolong dipahami ini demi kepentingan nasional, memilih pemimpin pada 2024 sangat krusial penting sekali, harus tepat dan benar,” ucap mantan Gubernur DKI Jakarta dan Wali Kota Solo itu.
Pernyataan Jokowi tersebut mendapat tanggapan dari Analis sosial politik Universitas Negeri Jakarta Ubedilah Badrun, Selasa (30/5). Menurutnya, Jokowi melakukan tiga kesalahan mendasar dengan menyatakan tak akan netral (ikutcawe-cawe) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Pertama, Ubedilah menilai Jokowi salah memahami dirinya sebagai seorang Presiden. Dia menjelaskan, presiden merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Pemilu, kata dia, adalah agenda negara sekaligus agenda pemerintahan yang mesti ditunaikan sesuai jadwal lima tahun sekali.
“Dengan alasan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam konteks Pemilu, Presiden hanya berfungsi untuk menjamin jalannya pemilu sesuai agenda dan azas dan prinsip-prinsipnya,” kata Ubedilah, seperti dikutip Tempo, Selasa (30/5).
Secara moral politik kenegaraan, kata dia, posisi presiden melekat sebagai pemimpin aparatur sipil negara (ASN). Jika ASN diwajibkan netral, maka presiden mestinya menjalanan fungsi lebih moralis dibandingkan ASN.
“Itulah yang disebut salah satu ciri negarawan. Jika Presidennya sudahcawe-cawedalam Pemilu, maka seluruh ASN berpotensi besar tidak akan netral. Bahkan bisa jadi TNI-Polri juga ikut tidak netral. Ini berbahaya,” kata dia.
Kesalahan kedua, kata Ubedilah, adalah pemahaman Jokowi ihwal praktik politik kenegaraan saat ini. Ubedillah menyebut presiden sebelumnya, yakni Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY serta Megawati Soekarnoputri, sudah mencontohkan bahwa urusan pencapresan berada di tangan partai politik.
Ubedilah menyebut kesalahan Jokowi dalam konteks tersebut adalah sibuk membuat Koalisi Indonesia Bersatu yang digawangi Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Persatuan Pembangunan. Selain itu, RI 1 ini disebut Ubedilah sibuk mengurusi Musyawarah Rakyat (Musra) yang digelar Projo.
“Cukup partai politik saja yang sibuk urusan capres-cawapres, bukan Presiden,” kata dia.
Ubedilah menyebut kesalahan ketiga Jokowi adalah masih menggunakan jalan pikiran pemerintahan Soeharto. Dia menjelaskan, rezim Soeharto menjalankan pemerintahannya dengan dipandu oleh Garis-Garis Besar Haluan Negara yang dibuat MPR sehingga ada rencana pembangunan lima tahunan dan jangka panjang 25 tahunan.
Kala itu, Ubedilah menyebut masa periode Presiden tidak dibatasi. Sehingga, jalannya negara bisa dibayangkan 25 tahunan oleh satu visi pemerintahan saja.
Adapun saat ini, Ubedilah menyebut Indonesia menggunakan sistem presidensial murni. Sehingga, Presiden dipilih langsung oleh rakyat dan jalannya pemerintahan selama 5 tahun ke depan merupakan otoritas Presiden yang dipilih.
“Jadi cawe-cawe Jokowi dengan alasan demi untuk melanjutkan programnya adalah kesalahan memahami sistem Presidensial murni saat ini yang Presidennya dipilih langsung oleh rakyat. Jokowi memang sepertinya kurang belajar tentang sistem pemerintahan dengan baik,” kata dia.
Diminta Suarakan Tolak Sistem Pemilu Tertutup
Sementara itu, Ketua Fraksi Partai NasDem Robert Rouw meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) turut bersuara menolak Mahkamah Konstitusi (MK) mengembalikan sistem pemilu tertutup.
Ia menyinggung pernyataan Jokowi yang mengklaim dirinya boleh cawe-cawe demi kepentingan negara. "Presiden kami minta beliau sendiri sampaikan beliau harus ikut cawe-cawe untuk menjaga kelanjutan pembangunan dan stabilitas negara dalam rangka pemilu 2024," kata Robert dalam konferensi persnya, Selasa (30/5).
Robert menuturkan Jokowi juga harus turut bersuara dalam kapasitasnya sebagai kepala negara. Menurutnya, rakyat sejauh ini juga menginginkan pemilu dilakukan secara terbuka alih-alih tertutup atau coblos partai.
"Maka saya minta supaya enggak cuma MK yang kami minta, kami minta juga presiden bisa mendukung apa yang menjadi harapan dari masyarakat," ucap dia.
Robert lantas menyinggung kini proses tahapan pemilu sudah berjalan selama hampir setahun. Ia pun khawatir jika MK mengubah sistem pemilu berpotensi akan menimbulkan kegaduhan.
"Khususnya di partai-partai kami ini caleg akan bergaduh mulai dari tingkat bawah DPRD Provinsi sampai pusat," tegasnya.
Pada hari ini, delapan Fraksi DPR RI minus PDIP menggelar konferensi pers mendesak Mahkamah Konstitusi (MK) untuk tidak mengembalikan sistem pemilu jadi proporsional tertutup.
Partai Golkar diwakili oleh Ketua Komisi II Ahmad Doli Kurnia dan Ketua Fraksi Kahar Muzakir. PAN diwakili oleh Wakil Ketua MPR Yandri Susanto, Ketua Fraksi PAN Saleh Daulay. Sementara, Gerindra oleh Waketum Habiburokhman.
Kemudian PPP diwakili oleh Ketua Fraksi Amir Uskara, PKS oleh Ketua Fraksi Jazuli Juwani, NasDem Robert Rouw, PKB oleh Fathan Subchi, dan Partai Demokrat oleh Ketua Fraksi Edhie Bsakoro Yudhoyono dan Hinca Pandjaitan. (kompastv/tempo/dtc)
Baca juga: Calon Jemaah Haji Gagal Berangkat Sebab Belum Lunas BPIH, Amphuri Jateng Usulkan Ini
Baca juga: Berita Viral : KB Tak Mempan Pasutri Ini Punya 13 Anak sampai Sering Lupa Namanya
Baca juga: Sosok Indri Hapsari, Satu-satunya Master Trainer Pilates Internasional Asal Kota Semarang
Baca juga: Pelajar di Karanganyar Bikin Sepeda Motor Listrik, Awalnya Untuk Bantu Petani Angkut Hasil Produksi