TRIBUNJATENG.COM,BATANG - Disdikbud Kabupaten Batang melakukan pengkajian terhadap adat dan tradisi Nyadran Gunung Silurah, untuk direkomendasikan sebagai Warisan Budaya Takbenda (WBTb).
Hal itu dilakukan agar mendapatkan pengakuan dari Provinsi Jawa Tengah, seiring kentalnya aktivitas kebudayaan yang masih dilanggengkan warga setempat dalam tradisi tersebut.
Anggota Tim WBTb Mulyono Yahman mengatakan sejumlah langkah perlu dilakukan seperti penelusuran fakta-fakta kegiatan kebudayaan tradisi Nyadran Gunung Silurah, sejak pertama kali digelar hingga kini oleh masyarakat adat setempat.
“Nyadran Gunung Silurah ini sudah menjadi budaya turun menurun dari para leluhur yang sampai sekarang masih dibiasakan. Tujuan akhirnya adalah wujud penghormatan terhadap arwah para leluhurnya,” jelasnya.
Baca juga: Nasi Berkat Slametan yang Selalu Dinantikan Warga saat Nyadran Gunung Silurah
Baca juga: Ritual Nyadran Gunung di Desa Silurah Batang, Kirab Hasil Bumi hingga Potong Kambing Kendit
Baca juga: Petanesia Batang Kenalkan Wisata Budaya Desa Silurah ke Komunitas Pecinta Alam
Seperti diketahui, warga Desa Silurah Kecamatan Wonotunggal hingga kini masih melanggengkan adat tradisi Nyadran Gunung dari leluhurnya, yang telah ada sejak ratusan tahun lalu.
Rangkaian upacara adat pun digelar selama beberapa hari sebagai upaya agar kehidupan mereka tetap sejahtera dan terhindar dari bala atau malapetaka.
Kepala Desa Silurah Suroto mengatakan, tradisi Nyadran Gunung Silurah telah dilakukan oleh para leluhur sejak 500 tahun lalu.
Berawal ketika munculnya bala atau malapetaka, maka pemimpin adat kala itu mendapat petunjuk lewat sebuah mimpi untuk melakukan beberapa ritual agar penyakit tersebut segera sirna.
“Tiap malam Jumat Kliwon Jumadil Awal dalam penanggalan Islam, seluruh warga desa menggelar tasyakuran dengan ider-ider desa atau keliling desa sambil memanjatkan doa. Keesokan harinya tokoh adat memotong kambing kendit yakni berbulu hitam namun ada bagian tubuh tertentu yang berwarna putih di lereng Gunung Ronggokusumo, diiringi gending Jawa lalu sesepuh adat naik ke gunung untuk mendoakan leluhur,” terangnya,.
Perangkat Desa Silurah, Waluyo menambahkan, setelah kambing kendit dipotong dan ditanam di tempat tertentu.
“Dagingnya dimasak sebagian dijadikan sesaji yang diletakkan di lima titik, salah satunya di Watu Larangan (batu larangan), dan daging lainnya dimakan bersama,” imbuhnya.
Sempat terbesit kekhawatiran dari para pemerhati budaya, tentang berkurangnya kesakralan tradisi Nyadran Gunung Silurah dengan banyaknya publik yang turut menyaksikan runtutan prosesi.
“Tapi tidak perlu takut karena kesakralan itu tidak bisa luntur begitu saja, sepanjang masyarakat mendukung dan setia dengan adat tradisi leluhurnya, serta menentukan area inilah yang harus dijaga kesakralannya,” tandasnya.(din)