Berita Regional

Terungkap Alasan Utama Warga Aceh Tolak Pengungsi Rohingya, Tak Mau Terulang Lagi

Editor: muh radlis
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Satu kapal kayu berisi ratusan imigran Rohingya terlihat di perairan Desa Meunasah Dua Pasi, Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, Kamis (16/11/2023.

TRIBUNJATENG.COM - Kasus penolakan sebagian warga Aceh terhadap ratusan pengungsi Rohingya yang hendak berlabuh dengan perahu kayu disebut oleh sosiolog bisa memicu kekacauan dan mempertegas gesekan antara warga di masa depan.

Insiden ini menciptakan kekhawatiran akan meningkatnya tensi sosial dan dampak negatif terhadap hubungan antarwarga.

Pemerhati pengungsi Rohingya juga menyoroti bahwa gelombang pengungsi yang datang ke Indonesia kemungkinan akan semakin besar ke depan. Hal ini disebabkan oleh pengalihan bantuan internasional untuk pengungsi ini ke Ukraina dan Gaza, membuat kondisi para pengungsi semakin sulit.

Seorang pengungsi Rohingya yang akhirnya mendarat di Pidie mengakui kekhawatirannya terhadap penolakan warga setempat. Sementara itu, pemerintah Indonesia mengeluarkan seruan kepada negara-negara yang telah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 untuk "menunjukkan tanggung jawab lebih" dalam menangani situasi ini.

Terjadi ketegangan di pantai Desa Ule Madon, Kabupaten Aceh Utara, Kamis (16/11), ketika sejumlah warga menolak kedatangan pengungsi Rohingya. "Jangan minta dipukul," teriak seorang pria berbaju biru sambil menunjuk wajah salah satu pengungsi Rohingya. "Nggak boleh [masuk], naik ke atas boat kapal," kata pria lainnya memaksa sejumlah pria kembali ke kapal kayu yang berjarak sekitar 30 meter dari bibir pantai.

Ini merupakan gambaran dari penolakan sebagian warga setempat terhadap pengungsi Rohingya dari rekaman video yang diterima BBC News Indonesia.

Sebelumnya kapal yang berisi lebih 200 pengungsi juga ditolak warga saat memasuki Kuala Pawon, Kabupaten Bireuen.

Meskipun menolak kedatangan pengungsi, ratusan warga sempat memberikan bungkusan berisi makanan dan pakaian bekas kepada para pengungsi sebelum akhirnya mengusir mereka kembali ke dalam kapal.

Para pengungsi kembali melanjutkan perjalanan bertaruh nyawa.

Di atas kapal kayu itu, terlihat pengungsi berjubal dan menatap dengan wajah sedih ke daratan – sebagian dari mereka adalah perempuan dan anak-anak.

Menurut sosiolog dari Universitas Syiah Kuala, Siti Ikramatoun perubahan sikap warga Aceh ini, lantaran akumulasi pengalaman tidak menyenangkan dari hubungan berinteraksi dengan pengungsi Rohingya selama bertahun-tahun.

“Kasus-kasus yang muncul justru pada akhirnya mengikis kepercayaan itu.

Baik kasus pelecehan, ditambah dengan kasus-kasus lain yang melarikan diri, bertengkar dengan warga setempat dan lain-lain,” katanya.

Pengalaman ini telah memberikan penafsiran dan pemahaman baru kepada warga Aceh terkait dengan solidaritas kemanusiaan, kata Siti.

Ini benar-benar jauh dari kesan warga Aceh yang semula "peumulia jamee (pemuliaan tamu) dan adat meulaot yang mewajibkan menyelamatkan orang yang terancam nyawanya di laut".

Halaman
12

Berita Terkini