kami termasuk orang yang ada dalam kebohongan yang besar.
Kami tidak bisa kembali kepada ajaran sebelumnya kecuali jika Allah menghendaki.
Pengetahuan Tuhan kami meliputi segala sesuatu. Kepada Allah sajalah kami bertawakal.”
Syu’aib berdoa, “Ya Tuhan kami, berilah keputusan antara kami dan kaum kami dengan adil dan Engkaulah Pemberi keputusan yang sebaik-baiknya.”
Jawaban Syu’aib tentu saja membuat para pemuka kaum Madyan yang kafir kesal.
Mereka berkata, “Sesungguhnya, jika kamu mengikuti Syu’aib, tentu kamu termasuk orang-orang yang merugi.”
Syu’aib berseru dan memberi peringatan kepada kaumnya,
“Hai kaumku, janganlah pertentangan antara aku dan kalian menyebabkan kamu menjadi jahat hingga kamu ditimpa azab
seperti yang menimpa kaum Nuh atau kaum Hud atau kaum Saleh, sedang kaum Luth tidak jauh dari kamu.
Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu, kemudian bertobatlah kepada- Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih.”
Ternyata, seruan dan peringatan Syu’aib malah ditanggapi dengan ejekan dan hinaan.
Mereka melontarkan ancaman kepada Syu’aib. Mereka berkata, “Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu
dan sesungguhnya kami benar-benar melihat kamu seorang yang lemah diantara kami.
Kalau tidak karena keluargamu, tentu kami telah merajam kamu, sedang kamu pun bukanlah seorang yang berwibawa di sisi kami.”
Syu’aib menjawab dengan lantang, “Hai kaumku, apakah keluargaku lebih terhormat menurut pandanganmu daripada Allah, sedang Allah kamu jadikan sesuatu yang terbuang di belakangmu?