Ia pun bersedia dan rela melepas sebidang tanahnya untuk mendukung proyek Tol Yogyakarta-Bawen.
"Waktu itu saya sempat berpikir agar tanah saya tidak diambil, karena saya masih punya anak yang belum nikah, jadi saya pertahankan, belum lagi saya tidak tahu kapan itu digusurnya. Tapi karena sekarang sudah menikah, saya ajukan lagi, tidak hanya yang 1 meter persegi saya, yang 51 sisanya saya juga ajukan agar disetujui," jelas Tugito.
2. Harga Beli Pemerintah Cukup Tinggi
Selain alasan anak belum menikah, Tugito sempat mempertahankan tanahnya karena ia belum mengetahui seberapa besar uang pengganti yang akan didapatnya.
"Ya semua sudah ketentuan dari Yang Maha Kuasa. Tentu saya mendukung proyek ini sebagai warga Indonesia yang patuh, agar bisa nyengkuyung," ungkap dia.
Tugito menyebut, idealnya harga tanah di kawasan Sempon itu berkisar Rp 500 ribu hingga Rp750 ribu per meter persegi.
Sehingga Tugito bersyukur jika harga yang didapatnya lebih besar ketimbang harga pasaran.
"Alhamdulillah hitungannya mahal, kalau pasarannya paling Rp 750 ribu sudah tinggi, tapi adanya jalan tol ini jadi lebih mahal. Ada yang tegel (tega) itu minta Rp 200 ribu 1 meter. Kalau di kampung malah sekitar Rp 500 ribuan," tukasnya.
Dengan mendapat kompensasi sebesar Rp 3,9 juta, Tugito berencana menggunakan uang tersebut untuk tambahan modal usaha.
Menurutnya langkah itu lebih baik ketimbang dipakai untuk hal yang konsumtif.
Hal serupa juga dialami Mbah Sri Badawiyah (64) warga Desa Prawatan, Kecamatan Jogonalan, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.
Mbah Sri merupakan warga yang mendapat ganti rugi tol terkecil di desa itu.
Sawah milik Sri Badawiyah kena terjang tol seluas 3 meter saja.
Ia mendapat ganti rugi Rp 2,8 juta.
Meski tak menjadi miliarder seperti warga lainnya, ia tetap bersyukur.