TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Komisi II DPR RI akan mengevaluasi turunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pesta demokrasi Pilkada 2024.
Hal tersebut disampaikan Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Aria Bima, saat menjadi narasumber dalam Parlemen Kampus 2024, di Universitas Diponegoro, Rabu (4/12/2024).
Aria mengatakan, undang-undang (UU) pemilu adalah undang-undang yang secara periodik per lima tahun selalu direvisi.
Pemilu berjalan karena faktor aturan main yang dibuat melalui jalan konstitusi di DPR. Perubahan UU Pemilu di era demokrasi harus transparan dan akuntabel.
Pihaknya akan mengevaluasi penyebab tingkat partisipasi menurun.
"Hipotesanya apa. Hal-hal yang mengakibatkan menurunnya tingkat partisipasi. Apakah pilpres kemarin lebih tinggi atau di pilpres atau pileg kemarin banyak mobilisasi, justru pilkada ini partisipasi," paparnya.
Dalam membuat UU, legislatif tentu menginginkan kompetensi pemilih, kesadaran pemilih akan hak dan kewajibannya mengikuti pemilu tinggi, kandidat yang dia dipilih bisa memperjuangkan hak-haknya juga menjadi suatu hal yang penting.
Pihaknya belum mengetahui secara kenapa partisipasi pemilih menurun. Bisa saja, katanya, terjadi penurunan partisipasi karena mobilisasi yang berkurang.
"Zaman pileg calon-calon memobilisasi, kelihatan seolah-olah partisipasi. Ini beda. Kalau mobilisasi motif memilihnya itu karena memang sadar, money politik, bansosisasi, atau intervensi tekanan," sebutnya.
Dia pun tidak melihat partisipasi kendor pada pilkada kali ini. Hipotesa lain, sebut dia, bisa jadi masyarakat tidak memilih karena kesadaran diri. Mereka merasa tidak ada calon kepala daerah (cakada) yang dianggap kompeten. Sehingga, masyarakat memilih untuk golput. Oleh karena itu, pihaknya juga akan mengevaluasi dari sisi regulasi pencalonan.
"Ini akan kami evakuasi, karena banyak usulan juga bahwa tidak perlu 7 persen seorang kandidat maju. Bahkan, 0 persen kandidat bisa mengajukan sebagai calon," sebutnya.
Aria juga menyoroti terkait minimnya kepedulian kaum muda dalam pesta demokrasi. Pasalnya, generasi Z lebih individual. Mereka berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya yang lebih berdasar pada komunitas, termasuk keluarga.
"Dulu, pemilu hampir satu keluraga punya satu warna pilihan sama. Bahkan, kecenderungan partenalistik, father atau mother, akan cenderung membuat partisipatif anak-anaknya mengikuti pemilu. Bahkan, satu keluarga nyoblos bareng-bareng," ujarnya.
Namun, pihaknya tidak melihat hal tersebut di kalangan generasi Z. Adanya perubahan value atau tata nilai ini membuat generasi Z lebih bersifat individual.
"Lu lu gue gue. Kalau gue mau nyoblos urusan gue, temasuk lu bapaknya, ibunya, kakaknya. Ada perubahan value tata nilai gen Z lebih individual, lebih mengambil keputusan karena dirinya. Kalau aku kerja sama lu, lu untung gue untung. Anak gen Z tidak mau merugikan orang lain. Kira-kira kalau aku nyoblos, dapat keuntungan apa," ungkapnya.
Maka, sambung dia, perlu dibangun kesadaran pendidikan bagi kalangan generasi Z untuk bisa meningkatkan partisipasi pada pesta demokrasi.
Menanggapi rendahnya partisipasi karena banyaknya perantau, Aria juga menekankan, pemilu jangan sampai menghilangkan seruang apapun hak memilih.
"Saya sepakat bagaimana perantau ini, diberi hak untuk memilih kepala daerah dengan aturan yang lebib simpel, termasuk untuk mahasiswa," jelasnya. (eyf)
Baca juga: Jalan Rusak Akibat Hujan di Celangapan-Pamotan Rembang Ditambal
Baca juga: Skenario PSIS Semarang Kembali ke Papan Atas Klasemen BRI Liga 1 Menurut Legenda Klub
Baca juga: Skenario PSIS Semarang Kembali ke Papan Atas Klasemen BRI Liga 1 Menurut Legenda Klub
Baca juga: Rekapitulasi KPU Pilkada Kudus Tingkat Kabupaten, Paslon Samani dan Bellinda Unggul 38.024 Suara