Beberapa kedutaan besar seperti Amerika Serikat, Prancis, Rusia, dan China telah mengimbau warganya agar menghindari kerumunan dan aksi massa selama masa ketegangan ini berlangsung.
Kendati demikian, Profesor Byunghwan Son dari Universitas George Mason menilai keputusan Mahkamah ini sebagai bukti ketahanan demokrasi Korea Selatan.
“Sistem tidak runtuh meski menghadapi ujian seberat ini. Ini menunjukkan bahwa demokrasi Korea masih bisa bertahan, bahkan menghadapi upaya kudeta sekalipun,” ujarnya kepada AFP.
Sementara itu, Profesor Vladimir Tikhonov dari Universitas Oslo menyebut bahwa negara ini telah setengah lumpuh sejak Desember, tanpa kepala negara yang sah dan diterpa krisis bertubi-tubi, termasuk bencana alam dan kebijakan ekonomi agresif dari Presiden AS Donald Trump.
Yoon menjadi presiden Korea Selatan kedua yang dimakzulkan Mahkamah Konstitusi, setelah Park Geun-hye pada 2017.
Putusan ini sekaligus mendorong adanya pemilihan presiden baru yang harus dilaksanakan dalam waktu 60 hari. (Kompas.com)