Sementara itu, karakter Pangeran Topher yang membumi dan reflektif dibawakan oleh Ezekiel, mahasiswa tahun yang sama dari Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FBS UKSW.
Meski awalnya tidak terlalu familiar dengan kisah Cinderella, Ezekiel mampu membentuk karakter yang kuat berkat kerja sama erat dengan sutradara.
“Saya jarang menonton cerita ini, tapi saya mengikuti arahan sutradara tentang bagaimana Topher seharusnya, emosinya seperti apa.
Kebetulan hasilnya keren,” tutur Ezekiel yang juga dipanggil Eze.
Sama seperti Lintang, ini adalah drama kedua bagi Ezekiel.
Tantangan waktu dan kedalaman karakter, lanjut dia, justru menjadi pemacu semangat dalam proses kreatif yang padat namun penuh makna.
Kolaborasi Ratusan Talenta Muda
Keberhasilan pementasan ini tak lepas dari kolaborasi besar-besaran di antara ratusan mahasiswa FBS UKSW.
Dari penulisan naskah, penggarapan musik, penyutradaraan, hingga desain tata panggung dan pencahayaan, semuanya digarap oleh tangan-tangan kreatif dari lingkungan kampus sendiri.
Cerita yang mereka bangun jauh dari kisah dongeng biasa.
Ella dan Topher tak hanya saling menemukan cinta, tetapi juga membentuk aliansi untuk melawan korupsi dan menyuarakan keadilan bersama karakter-karakter unik seperti dua saudara tiri Ella yang akhirnya berpihak padanya, Jean-Michel si revolusioner muda, dan “Crazy” Marie sang pembebas wanita.
Cinderella yang Relevan dan Membebaskan
Lewat pementasan ini, Cinderella tidak lagi hadir sebagai gadis yang menunggu diselamatkan.
Ella menjadi simbol kekuatan perempuan, kecerdasan, dan tekad untuk mengubah nasib dengan tangannya sendiri.
Pangeran pun bukan lagi penyelamat satu dimensi, melainkan sosok manusiawi yang juga mencari makna hidup di tengah beban warisan kekuasaan.