Para pelaku kini dijerat dengan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Mereka juga dikenai pasal tambahan terkait eksploitasi anak di bawah umur.
Jika terbukti bersalah, para tersangka terancam hukuman pidana penjara paling lama 15 tahun serta denda maksimal Rp600 juta.
Kombes Dian menegaskan bahwa Polda Banten akan terus memantau dan memberantas praktik TPPO, terutama yang melibatkan anak di bawah umur.
Polisi juga mengimbau masyarakat, khususnya orang tua, untuk lebih waspada terhadap aktivitas anak-anak di media sosial dan aplikasi percakapan online.
“TPPO kini tidak lagi berlangsung secara konvensional. Modusnya sudah digital, dan itu lebih sulit dideteksi tanpa keterlibatan semua pihak,” ujarnya.
Kasus ini menegaskan pentingnya edukasi digital kepada generasi muda serta pengawasan ketat dari orang tua.
Remaja saat ini sangat rentan terhadap tipu daya pelaku perdagangan orang yang memanfaatkan aplikasi chatting seperti MiChat sebagai platform untuk mencari korban.
Orang tua perlu mengenali tanda-tanda eksploitasi dan komunikasi tidak sehat, serta aktif mendampingi anak saat menggunakan gawai. Selain itu, masyarakat diminta melaporkan bila menemukan indikasi perdagangan orang, agar aparat dapat bertindak cepat.
Kasus TPPO yang menimpa remaja 17 tahun di Cilegon adalah alarm keras bagi semua pihak. Teknologi yang seharusnya mempermudah kehidupan, kini disalahgunakan untuk kejahatan yang mencederai masa depan anak bangsa.
Dengan kolaborasi antara aparat, orang tua, dan masyarakat, diharapkan praktik perdagangan orang, khususnya terhadap anak dan remaja, dapat diberantas hingga ke akar.
Jangan biarkan lebih banyak generasi muda gugur akibat tipu daya digital yang berujung pada eksploitasi.
Jika Anda atau orang di sekitar Anda mengetahui aktivitas mencurigakan terkait TPPO, segera laporkan ke aparat berwenang atau layanan darurat terdekat. Setiap laporan bisa menyelamatkan masa depan seorang anak.(kompas.com)