Dalam spanduk tersebut, tertulis pula kata-kata “Kembalikan Status Kerja Kami yang Kaurampas Atas Nama Kebijakan Politik yang Arogan”.
Sebelumnya, spanduk tersebut juga dipasang pada tumpukan dus air mineral donasi mereka, yang diletakkan tepat di sebelah barat gerbang masuk Kantor Bupati Pati.
Kelompok mereka mengatasnamakan diri “Korban PHK BLUD (Badan Layanan Umum Daerah-red.) RSUD Soewondo Pati”.
Ratusan warga simpatisan aksi unjuk rasa berdiri melingkar, menonton “pertunjukan” para korban PHK yang mencurahkan isi hati mereka.
Satu di antara mereka, Ruha, mengatakan bahwa pihaknya memanfaatkan momentum gelombang protes terhadap Bupati Sudewo ini untuk ikut menyampaikan kegeraman dan uneg-unegnya.
“Saya sudah 20 tahun mengabdi di RSUD Soewondo Pati, tapi saya dikeluarkan dengan surat pemberhentian kerja, tanpa ada pesangon, tanpa ada pengalihan tempat kerja, tanpa ada penghargaan, tanpa apa pun,” kata dia.
Ruha mengatakan, 220 pegawai honorer RSUD termasuk dirinya menjadi “korban” kebijakan Bupati Sudewo yang melakukan perampingan atau rasionalisasi jumlah pegawai.
Mereka diberhentikan setelah dinyatakan tidak lolos dalam tes seleksi “karyawan tidak tetap menjadi karyawan tetap RSUD RAA Soewondo Pati” pada April 2025 lalu.
Ruha berani mengatakan bahwa tes tersebut tidak adil dan penuh kecurangan. Salah satu indikasinya, tidak ada transparansi jumlah skor yang didapatkan peserta tes.
“Bagi saya tes itu tidak fair, karena saat pengumuman hasil tes, tidak jelas poin atau skornya. Hanya ada nama dan keterangan lolos dan tidak lolos,” tutur dia.
Ruha juga heran karena peserta tes yang mencontek jawabannya justru lolos. Kemudian, yang paling membuatnya bertanya-tanya, seorang peserta tes yang jelas-jelas dalam berita acara disebutkan bahwa lembar jawabannya diambil oleh panitia karena kedapatan curang, justru lolos seleksi.
“Waktu itu tes adu daya ingat. Harusnya tidak boleh menulis apa pun, tapi dia menulis. Ketahuan sama pengawas, jawabannya diambil dan masuk berita acara, tapi dia malah lolos,” jelas dia.
Hal itulah yang membuat Ruha menyimpulkan bahwa tes tersebut penuh kecurangan.
Ruha mengatakan, dirinya mulai bekerja di RSUD Pati pada 1 Juli 2005. Saat itu dia diterima dalam formasi kerohanian.
“Saat itu, saya masuk lewat kompetisi atau tes dari MUI Pati. karena RSUD belum mampu menguji saya secara keagamaan, sebab posisi saya rohaniawan,” tutur dia.