TRIBUNJATENG.COM, UNGARAN — Senin (11/8/2025), suasana Dusun Wates, Desa Wates, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, tampak berbeda dari hari-hari biasanya.
Pintu dan jendela puluhan rumah warga terbuka lebar sejak pagi, menyambut siapa pun yang datang.
Jalanan dusun ramai oleh lalu lalang kendaraan, suara tawa, dan kehangatan obrolan yang mengalir akrab di antara tamu dan tuan rumah.
Menyusuri gang-gang dusun, aroma sedap masakan rumah menyergap hidung.
Di teras, ruang tamu, hingga halaman rumah, berbagai makanan kecil tradisional tertata rapi di meja.
Tape ketan, jenang berbahan jagung, jadah, kerupuk, emping, rolade, dan buah-buahan seperti jeruk, kelengkeng, dan pisang tersedia untuk siapa saja yang datang bertamu.
Air mineral dan teh hangat juga siap menemani.
Namun, suguhan utama bukan hanya camilan. Setiap pemilik rumah telah menyiapkan hidangan besar di dapur, bak prasmanan.
Aneka masakan khas rumahan meliputi nasi, sate ayam, bakso, opor, kikil, sambal goreng daging giling, dan lain sebagainya sudah tersaji.
Para tamu tidak hanya dipersilakan, melainkan diwajibkan untuk makan.
Mereka mengambil sendiri makanan ke piring masing-masing sesuai selera.
Di setiap rumah yang dikunjungi, kenyang adalah hasil yang tak terelakkan.
Itulah hari puncak tradisi Saparan, momen tahunan yang selalu dinanti warga dan kerabat dari berbagai daerah.
Satu di antara warga setempat atau tuan rumah, Istichomah, mengatakan bahwa tradisi itu dilakukan sekali setiap tahun dalam Safar, bulan dalam penanggalan Islam.
Tradisi menyajikan makanan untuk siapapun yang datang atau yang kini kerap disebut open house, bermakna menjaga silaturahmi dan berbagi berkah kepada saudara dan orang terdekat, bahkan siapapun yang membutuhkan.