“Saya pribadi menyajikan nasi jagung, karena itu hasil pertanian utama kami.
Lainnya tergantung tuan rumah, yang penting semangatnya tetap sama,” lanjut dia.
Tradisi Saparan tidak berdiri sendiri.
Terdapat prosesi yang mengiringinya pada hari sebelumnya, satu di antaranya yaitu nyadran kuburan atau ziarah ke makam leluhur, terutama ke makam Mbah Rembet, cikal bakal warga setempat.
Kegiatan lainnya, mencakup kenduren, selametan, bersih kali atau membersihkan sungai dan mata air, hingga pertunjukan seni budaya.
Pada 2025 ini, panggung wayang kulit menghiasi malam penutupan.
Meski tanpa kirab atau arak-arakan, lanjut Sujali, warga tetap merayakan dengan semangat kekeluargaan yang kental.
“Yang penting itu menjaga silaturahmi, rasa persaudaraan.
Kami percaya, meskipun banyak biaya yang dikeluarkan untuk menjamu tamu, rezeki pasti kembali dengan cara yang tak terduga,” pungkas dia. (*)