TRIBUNJATENG.COM - Saksi hidup para pejuang yang mempertahankan NKRI pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 kian sedikit.
Bahkan pejuang veterena di Jawa Tengah kini hanya tinggal 500 orang.
Mereka biasanya akan bisa menceritakan dengan sangat nyata bagaiman para pejuang saat itu berperang melawan Jepang dan Belanda.
Cerita-cerita itu akan membangkitkan generasi muda yang bisa mendengarkan kisah para veteran biasanya di malam tirakatan.
Baca juga: Janda Perintis Kemerdekaan dan Veteran Perang Jateng Mendapat Santunan Pada Peringatan HUT ke-80 RI
Baca juga: Sosok Kakek Amad, Veteran Perang Yang Berjuang Mencari Makam Istrinya Selama 70 Tahun Tak Sia-sia
Salah satu pejuang kemerdekaan yang saat ini masih sehat dan bisa menceritakan kisahnya adalah Sochib (96).
Ia bahkan masih mengingat jelas bagaimana Pertempuran 5 Hari di Semarang delapan dekade silam.
Saat itu usianya baru 16 tahun dan ia ikut angkat senjata bersama para pemuda lainnya.
Peristiwa itu terjadi dua bulan setelah proklamasi kemerdekaan.
Tentara Jepang mengamuk di Semarang tanpa sebab yang jelas.
Sochib menduga hal itu dipicu kekalahan Jepang akibat bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
“17 Agustus 1945, Indonesia merdeka. Baru dua bulan ada gejolak tentara Jepang ngamuk di Tugu Muda.
Waktu itu masyarakat tidak tahu penyebabnya apa.
Mungkin karena dibom atom itu,” kata Sochib saat ditemui di rumahnya di Desa Batursari, Kecamatan Mranggen, Kabupaten Demak, Jumat (15/8/2025).
Para pemuda Semarang pun melawan dengan senjata seadanya seperti bambu runcing, golok, pedang, hingga celurit.
Bentrokan berlangsung selama lima hari dan memakan banyak korban.
Sejarah ini dikenal sebagai Pertempuran 5 Hari di Semarang, 15–20 Oktober 1945.
“Pemuda-pemuda kita melawan dengan senjata seadanya.
Ada yang jadi korban dalam waktu 5 hari itu,” ujar Sochib.
Kala itu, sempat tersiar kabar bahwa sumber air bersih diracuni Jepang dan dr Kariadi yang memeriksa air justru ditembak hingga menambah amarah rakyat.
Bertemu Pasukan Gorga dan Belanda
Sochib juga mengingat kedatangan pasukan bayaran Sekutu, Gorga, yang awalnya mengaku mengamankan Jepang namun justru menambah kerusuhan.
Tentara berperawakan tinggi besar itu disebutnya ada yang berkulit putih, diyakini campuran dari pasukan Inggris, Amerika, dan Belanda.
“Lama-lama tidak aman, malah bikin rusuh. Belanda masuk Semarang bonceng sekutu. Terus ada gejolak lagi,” katanya.
Karena tidak mampu bertahan, Sochib akhirnya mengungsi ke Demak.
Tak lama, ia mendengar rumah keluarganya di kawasan Indrapasta Semarang dibakar Belanda.
Meski mengungsi, tekad berjuang Sochib tak padam. Pada Desember 1945, ia bergabung dengan Laskar Hizbullah Demak, meski sempat ditangisi ibunya.
“Ibu saya menangis ketika saya ikut laskar. Tapi saya yakinkan, ‘Mak ojo nangis, koncone akeh, saya berjuang di sini bersama teman-teman’,” kenangnya.
Sochib bertugas di bagian perhubungan, mengurusi telepon dan kode militer.
Ia pernah merasakan hujan mortir siang malam saat menyambungkan komunikasi antara komandan dan pasukan garis depan.
Menurutnya, semangat pejuang saat itu luar biasa.
“Kadang pulang minta uang orang tua baru balik ke medan perang. Saya tidak bisa, rumah saya di Semarang sudah dibakar,” ucapnya.
Kini, di usianya yang hampir satu abad, Sochib berpesan agar generasi muda menekuni pendidikan dan menjauhi narkoba.
“Sekarang sudah merdeka 100 persen. Majulah dengan belajar yang baik. Jangan sampai terpengaruh narkoba dan minuman keras. Itu merusak generasi,” ujarnya.
Jumlah Veteran Terus Menyusut
Ketua Markas Cabang Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Demak, Romadhon, menyebut jumlah veteran di Jawa Tengah kini menyusut drastis, dari sekitar 4.000 orang tinggal 500 orang.
Di Demak, tersisa 25 veteran, termasuk dua veteran pejuang kemerdekaan, yakni Sochib dan Khusen.
Namun, kesejahteraan para veteran dinilai belum sepenuhnya diperhatikan pemerintah.
Bantuan sosial yang dulu rutin, kini sudah tidak ada lagi.
“Rata-rata kehidupan mereka di bawah garis kemiskinan. Harapannya ada revisi UU Nomor 15 Tahun 2012 tentang Veteran, supaya hak-hak terutama veteran perdamaian juga diperhatikan,” kata Romadhon. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com