UIN SAIZU Purwokerto

Fatwa di Indonesia: Mengapa Ada yang Diikuti, Ada yang Dilupakan?

Editor: Editor Bisnis
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Prof. Dr. H. Ansori, M.Ag. Guru Besar UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

Oleh : Prof. Dr. H. Ansori, M.Ag.
Guru Besar UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto

TRIBUNJATENG.COM - Fatwa sering kali menjadi pembahasan hangat di kalangan umat Islam Indonesia. Tapi tahukah kamu, tidak semua fatwa benar-benar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari? Lembaga seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah kerap mengeluarkan fatwa, namun tingkat pengaruhnya berbeda-beda di masyarakat.

Misalnya, fatwa dari Lembaga Bahtsul Masail (LBM) NU lebih dikenal di kalangan pengurus organisasi dan tokoh agama. Namun, masyarakat awam banyak yang belum paham bahkan tidak tahu soal fatwa ini. Akibatnya, fatwa NU kurang berdampak luas di tingkat akar rumput.

Berbeda dengan NU, fatwa dari Majelis Tarjih Muhammadiyah relatif lebih dikenal oleh anggotanya. Buku-buku keputusan Tarjih sering jadi rujukan dalam beribadah. Tapi tetap saja, tidak semua fatwanya dijalankan sepenuhnya. Contohnya, fatwa haram merokok yang masih dilanggar sebagian anggota.
 
Lalu bagaimana dengan fatwa MUI? Sebagai lembaga yang dianggap mewakili pemerintah, MUI seharusnya punya pengaruh besar. Nyatanya, popularitas fatwa MUI justru kalah dibanding NU dan Muhammadiyah di kalangan umat Islam. Masyarakat lebih sering mengikuti fatwa dari kiai atau ustadz setempat. 

Salah satu penyebabnya adalah sifat fatwa yang tidak mengikat. Berbeda dengan putusan pengadilan, fatwa hanya bersifat anjuran. Masyarakat bebas memilih untuk mengikuti atau mengabaikannya. Ini membuat efektivitas fatwa sering kali lemah. 

Faktor lain adalah banyaknya perbedaan fatwa antar lembaga. Misalnya, soal penentuan awal Ramadan. Ada yang pakai hisab, ada yang pakai rukyat. Masyarakat pun jadi bingung dan akhirnya memilih yang paling sesuai dengan keyakinannya. 

Selain itu, sosialisasi fatwa juga sering kali kurang maksimal. Banyak orang tidak tahu isi fatwa karena informasinya tidak sampai ke mereka. Akibatnya, fatwa hanya beredar di kalangan terbatas, seperti pengurus organisasi atau tokoh agama.

Padahal, fatwa seharusnya bisa jadi solusi masalah umat. Contohnya, fatwa tentang larangan merokok atau panduan ibadah di masa pandemi. Tapi tanpa sosialisasi yang baik, fatwa hanya jadi wacana tanpa aksi nyata. 

Lalu, apa yang bisa dilakukan?

Pertama, lembaga fatwa perlu lebih aktif menyebarkan informasinya lewat media populer, seperti media sosial atau ceramah umum. 

Kedua, saling pengertian antar lembaga fatwa unttuk meminimalisir kebingungan di masyarakat. Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan menjelaskan argumen masing-masing secara rinci dari fatwa yang dikeluarkan.

Dengan begitu, fatwa tidak hanya jadi bahan diskusi, tapi benar-benar bisa membimbing kehidupan umat Islam sehari-hari. Bagaimana menurutmu? Apakah kamu sering mengikuti fatwa dari lembaga-lembaga ini?

Berita Terkini