Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Banyumas

Sewindu "Banyu Buthek": Luka Proyek PLTP Baturraden di Lereng Slamet Tak Kunjung Sembuh

Nasib kawasan hutan lindung di lereng selatan Gunung Slamet yang rusak akibat proyek PLTP Baturraden di Banyumas.

Tribunjateng/Permata Putra Sejati 
SAVE SLAMET - Aktivis Gerakan Save Slamet, Hendy saat mendatangi kantor DLH Banyumas, Senin (8/9/2025). Nasib kawasan hutan lindung di lereng selatan Gunung Slamet yang rusak akibat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturraden kembali dipertanyakan. 

TRIBUNJATENG.COM, PURWOKERTO - Nasib kawasan hutan lindung di lereng selatan Gunung Slamet yang rusak akibat proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturraden kembali dipertanyakan. 

Delapan tahun sejak insiden pencemaran air "Banyu Buthek" yang mengguncang kepercayaan publik terhadap proyek energi di kawasan konservasi tersebut. 

Proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturraden masih menyisakan luka ekologis yang dalam.

Baca juga: Video Begini Proses Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi PLTP Dieng

Proyek yang dikerjakan oleh PT Sejahtera Alam Energi (SAE) ini dinilai telah meninggalkan kerusakan serius di lereng selatan Gunung Slamet, tepatnya di kawasan hutan lindung yang masuk wilayah Kabupaten Banyumas

Kini, setelah izin penggunaan kawasan hutan (PPKH) habis pada 2023, belum ada langkah pemulihan berarti.

Koalisi Gerakan Save Slamet memulai kembali gerakan advokasinya melalui rangkaian aksi bertajuk "Sewindu Banyu Buthek".

Hal itu sebagai pengingat atas lamanya ketidakadilan lingkungan yang tak terselesaikan.

Save Slamet menyebut proyek PLTP Baturraden telah menyebabkan deforestasi seluas 44 hektar di area hutan lindung. 

Dampak paling nyata dari kerusakan ini adalah meningkatnya risiko bencana ekologis, seperti banjir bandang dan krisis air bersih, terutama bagi warga Banyumas di bagian hilir.

"Proyek yang mengakibatkan kerusakan lingkungan yang parah jangan dibiarkan begitu saja dan harus ada upaya untuk pemulihan," tegas salah satu aktivis Gerakan Save Slamet, Hendy kepada Tribunjateng.com, Senin (8/9/2025). 

Ironisnya, meskipun proyek ini secara logistik diakses dari wilayah Kabupaten Brebes, dampak lingkungan terbesar justru dirasakan oleh masyarakat Banyumas

Perbedaan ini memperkuat ketimpangan ekologis lintas wilayah administratif yang belum mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat maupun daerah.

Sejak PPKH berakhir pada 2023, PT SAE seharusnya telah melaksanakan kewajiban reklamasi dan revegetasi. 

Namun, Gerakan Save Slamet menilai tanggung jawab tersebut belum ditunaikan secara memadai. 

Tidak adanya penanaman kembali dengan tanaman endemik maupun normalisasi aliran air membuat kawasan tersebut terus mengalami degradasi.

Save Slamet juga menyoroti lemahnya pengawasan dari pemerintah dan lembaga pemangku kebijakan. 

Pada aksi hari pertama, para aktivis menyambangi kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Banyumas, namun gagal bertemu pejabat terkait karena mereka sedang berada di lapangan.

Rombongan kemudian bergerak ke kantor Perhutani KPH Banyumas Timur. 

Di sana, Heri dari bagian K3L Perhutani menyampaikan keterbatasan peran institusinya.

"Kami tidak tahu persis karena izin dan lain-lain langsung dari kementerian. 

Kami hanya diizinkan mengelola kawasan ketika itu sudah menjadi proyek nasional. 

Kami tidak bisa apa-apa, mau mencegah ya tidak mungkin," ujarnya.

Dalam gerakan "Sewindu Banyu Buthek", Save Slamet membawa sepuluh poin tuntutan, antara lain:

Mendesak PT SAE melakukan reklamasi total dengan tanaman endemik lereng Slamet.

Menormalisasi aliran air yang terdampak proyek.

Memulihkan ekosistem hutan dan menjamin keterlibatan masyarakat lokal dalam prosesnya.

Mendesak DPRD Banyumas melaporkan pelanggaran lingkungan ke Direktorat Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Mendorong pelaksanaan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi II DPRD Banyumas.

Menghentikan segala bentuk rencana kelanjutan proyek panas bumi tanpa evaluasi dampak ekologis menyeluruh.

Aksi ini akan terus berlanjut dalam bentuk pengawalan hukum, audiensi terbuka, dan kampanye publik demi mendorong pemulihan ekologis yang adil.

Delapan tahun adalah waktu yang cukup panjang untuk mengurai kerusakan, tetapi juga cukup untuk melihat kegagalan negara dan korporasi dalam menjalankan tanggung jawabnya. 

Baca juga: Optimistis Proyek PLTP Dieng 2 Sukses, Hefi Hendri Jelaskan Alur Uji Sumur Energi Panas Bumi

Kawasan hutan yang semestinya dilindungi justru menjadi korban atas nama energi terbarukan yang tidak dikelola dengan bijak.

Sementara masyarakat hilir terus menanggung dampaknya, proyek PLTP Baturraden justru mangkrak tanpa kepastian pemulihan. 

Gerakan Save Slamet memperingatkan bahwa tanpa intervensi nyata, krisis ekologis ini hanya akan membesar dan menambah daftar panjang konflik lingkungan hidup di Indonesia. (jti) 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved