Banjir hingga Kekeringan, Jateng Dikepung Bencana, Warga Tak Lagi Bisa Prediksi Cuaca
Jawa Tengah, provinsi yang dikenal sebagai jantung Pulau Jawa, dalam satu dekade terakhir justru kerap menjadi episentrum bencana hidrometeorologi
Penulis: budi susanto | Editor: muslimah
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Jawa Tengah, provinsi yang dikenal sebagai jantung Pulau Jawa, dalam satu dekade terakhir justru kerap menjadi episentrum bencana hidrometeorologi.
Data Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jateng mencatat, sejak 2015 hingga 2025, ribuan kejadian banjir, longsor, puting beliung, dan kekeringan telah memporak-porandakan kehidupan warga.
Hanya dalam dua bulan pertama tahun 2025, sudah tercatat 91 kejadian bencana.
Dampaknya, 407.214 jiwa terdampak, 30 orang meninggal dunia, 25 orang luka-luka, dan 10.867 orang terpaksa mengungsi.
Baca juga: Tanggap Darurat Bencana Ditetapkan di Banyumas, Longsor Jadi Ancaman Paling Serius
Dari total tersebut, banjir menjadi bencana paling dominan dengan porsi lebih dari 60 persen.
Kawasan dataran rendah seperti Semarang, Pekalongan, dan Batang nyaris setiap tahun dilanda banjir dan rob.
Curah hujan ekstrem ditambah pasang laut memperburuk situasi, sementara sistem drainase perkotaan belum mampu mengimbangi.
Kajian risiko Kota Semarang menegaskan, urbanisasi cepat serta kenaikan muka air laut menjadi faktor utama terjadinya banjir tahunan.
Di Pekalongan, rob bahkan telah mengubah wajah sebagian kampung nelayan, memaksa warga hidup dalam kondisi rumah tergenang.
“Sekarang suhu di Pekalongan terasa makin panas. Setiap masuk musim penghujan, saya selalu cemas karena teror banjir bisa datang kapan saja. Bahkan longsor juga sering terdengar di daerah tetangga,” kata Robi, warga Pekalongan, Jumat (12/9/2025).
Ia menambahkan, tak seperti 10 tahun lalu, cuaca kini semakin sulit diprediksi oleh masyarakat.
“Musim hujan malah kering, musim panas justru turun hujan deras. Kami benar-benar bingung, tidak tahu harus menyiapkan apa,” katanya.
Berbeda dengan pesisir, wilayah pegunungan seperti Banjarnegara, Wonosobo, dan Temanggung lebih sering dihantam tanah longsor.
Salah satu yang paling parah terjadi di Banjarnegara pada akhir 2021, ketika permukiman warga tertimbun material longsor usai hujan deras tanpa henti.
Di sisi lain, bagian selatan Jawa Tengah menghadapi krisis berbeda yaitu kekeringan.
Pada 2018-2019, ratusan desa dilaporkan kekurangan air bersih. Petani kesulitan mengairi sawah, sementara warga harus bergantung pada bantuan distribusi air dengan tangki.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melaporkan adanya kenaikan frekuensi hujan ekstrem di Jawa Tengah dalam kurun 1981-2024.
Hujan dengan intensitas lebih dari 50 mm per hari kini lebih sering terjadi, memicu banjir lokal dan longsor di banyak titik.
Fenomena global El Niño dan La Niña turut membuat pola hujan semakin tidak menentu.
Musim penghujan dan kemarau tidak lagi konsisten, menyulitkan petani dan masyarakat dalam beradaptasi.
Sementara data dari lembaga Kemitraan menegaskan perubahan iklim semakin nyata. Suhu udara di Jawa Tengah naik rata-rata 0,03 derajat per tahun.
Bahkan di empat kabupaten/kota di Pantura, peningkatannya mencapai 0,0375 derajat per tahun.
“Peningkatan suhu udara 0,01 saja sudah berdampak bagi lingkungan. Apalagi tren yang tercatat sekarang,” ujar Eka Melisa, Direktur Program Kemitraan beberapa waktu lalu.
Ia menambahkan, curah hujan saat musim penghujan meningkat 10-40 persen pada periode Desember hingga Maret, sementara saat musim kemarau berkurang dengan laju 8,9 milimeter per tahun.
Kondisi ini menyebabkan kekeringan meluas hingga 78 ribu hektare pada 2023, dengan gagal panen mencapai 25 ribu hektare lahan pertanian.
Bencana berulang tidak hanya merenggut nyawa, tetapi juga melumpuhkan roda ekonomi.
Pertanian menjadi sektor paling terpukul: banjir merusak sawah, sementara kekeringan menghambat tanam. Di pesisir, rob merendam kawasan industri, membuat ribuan buruh kehilangan penghasilan harian.
Dalam sepuluh tahun terakhir, kerugian ekonomi Jawa Tengah akibat bencana ditaksir mencapai puluhan triliun rupiah.
Data yang dihimpun Tribun Jateng, Kota Semarang mencatat kerugian hampir Rp 2 triliun hanya dalam lima tahun terakhir akibat kombinasi banjir, rob, dan amblesan tanah. (*)
Viral Mobil Plat Merah Parkir di Tempat Hiburan Demak, Ini Kata Pihak Desa |
![]() |
---|
Air Sungai Sudah Mengalir, Joko Berharap Material Longsor di Jangli Terangkat Semua |
![]() |
---|
Kemenham Jateng Tinjau Program Makan Bergizi di SMPN 26 Semarang dan SPPG Pudakpayung Banyumanik |
![]() |
---|
2 Warga Tewas Tersengat Listrik, Bupati Kudus Larang Keras Jebakan Tikus di Sawah |
![]() |
---|
Fokus Pembangunan Infrastruktur, APBD Jepara 2026 Disiapkan Rp2,7 Triliun |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.