Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

TRIBUN JATENG HARI INI

Dokter Astra Cuti dari Layanan Pasien Pascaintimidasi oleh Dosen Unissula

Dokter Astrandaya Ajie buka suara tentang dugaan intimidasi dan penganiayaan terhadapnya di RSI Sultan Agung Semarang.

IST
FOTO BERSAMA - dr Astra (baju hijau di tengah) bersama tim Tim Advokasi Keadilan Dokter Astrandaya. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Dokter Astrandaya Ajie akhirnya buka suara tentang dugaan intimidasi dan penganiayaan yang menimpanya di Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung, Kota Semarang, beberapa waktu lalu.

Dalam pernyataannya, Astra melalui Tim Advokasi Keadilan, menyebut bahwa kejadian itu meninggalkan luka mendalam baik secara fisik maupun psikis sehingga untuk sementara ia tidak dapat menjalankan profesinya sebagai tenaga medis.

“Peristiwa ini sangat memukul dokter Astra. Tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga trauma psikis,” kata Wakil Ketua Tim Advokasi, dr Hansen, Minggu (14/9/2025). 

“Untuk sementara waktu beliau harus cuti dari pelayanan pasien agar bisa memulihkan diri,” sambungnya.

Sebelumnya, dokter spesialis anestesi dr Astrandaya Ajie yang menerima kekerasan dari dosen FH Fakultas Hukum (FH) Unissula, M Dias Saktiawan, pada 5 September silam.

Dias merupakan suami pasien dr Astra.

Atas persoalan yang menimpanya, dr Astra resmi melaporkan masalah itu ke Polda Jawa Tengah.

Hansen menegaskan, tenaga medis maupun tenaga kesehatan tidak boleh diintimidasi dalam bentuk apa pun.

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, katanya, telah menjamin perlindungan hukum bagi tenaga medis.

“Dokter bekerja berdasarkan sumpah profesi, etika, ilmu pengetahuan, dan misi kemanusiaan. Karena itu mereka tidak layak dijadikan objek tekanan, ancaman, cemoohan, cacian, makian, hinaan, maupun perendahan martabat,” papar Hansen.

Tim Advokasi tersebut berisikan Dr Azmi Syahputra, dr Hansen, Wahyu Rudy Indarto, dr Kwan Krisdy Sebastian, Brojol Heri Astono, Bagas S Anantyadi, Mirzam Adli, R Winindya Satriya, Wahyu Said Saputra.

Mereka menilai kejadian tersebut ironis karena terduga pelaku berprofesi sebagai dosen FH di salah satu universitas swasta di Semarang.

“Harusnya sebagai insan hukum, (terduga pelaku—Red) memberi teladan beretika dan taat hukum, bukan melakukan intimidasi,” kata Hansen.

Ketidaknyamanan

Selain melukai korban, menurut Hansen, peristiwa itu juga menimbulkan ketidaknyamanan di rumah sakit.

“Situasi ini mengganggu ketenteraman, berdampak pada kenyamanan pasien dan mencoreng nama baik rumah sakit,” ujarnya.

Tim Advokasi juga menyoroti sikap manajemen rumah sakit maupun pihak universitas yang belum menjatuhkan sanksi kepada terduga pelaku.

Mereka menilai, sejatinya rumah sakit harus berdiri sebagai pelindung tenaga medis, bukan sebaliknya.

Melalui pernyataan resmi, Tim Advokasi Keadilan Dokter Astrandaya mendesak Polda Jateng memproses tuntas dugaan tindak pidana penganiayaan dan intimidasi terhadap dokter Astra.

Selain itu, mereka meminta manajemen rumah sakit untuk berbenah dan memastikan perlindungan penuh bagi tenaga medis, mengingatkan komunitas akademik agar objektif dan tidak menyalahgunakan otoritas untuk menekan profesi lain.

“Semua komunikasi terkait kasus ini disampaikan melalui Tim Advokasi. Jika ada pihak yang melakukan tekanan atau ancaman, maka akan diambil langkah hukum baik pidana, perdata, maupun tata usaha negara,” imbuhnya.

Musyawarah

Sementara itu, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kota Semarang, dr Sigid Kirana Lintang Bhima mengatakan, IDI Kota Semarang, telah menerima dan mendatangi forum musyawarah di RSI Sultan Agung, terkait permasalahan dugaan dosen FH Unissula, M Dias Saktiawan, yang melakukan tindakan represif terhadap dr Astra.

Pertemuan terjadi, pada Rabu (10/9), dimaksudkan sebagai forum penyelesaian secara internal antara pihak dokter dan Unissula.

Namun, dokter Astra tenaga kesehatan yang disebut menjadi korban tidak hadir dalam forum tersebut.

“Kalau kemarin itu saya dari IDI memang dapat undangan musyawarah dari RS Sultan Agung. Tapi karena dokter Astra tidak datang, jadi memang tidak terjadi kesepakatan apa-apa,” kata Sigid, Jumat (12/9).

Menurutnya, dalam musyawarah tersebut, Dias selaku dosen FH Unissula yang diduga represif terhadap dr Astra turut hadir dalam musyawarah.

Bahkan, ia menyebut ada upaya permintaan maaf Dias kepada pihak rumah sakit dan dr Astra.

“Dias hadir. Ada penyampaian permintaan maaf kepada dokter Astra. Tetapi sekali lagi, keputusan menerima atau tidak tetap ada di tangan dokter Astra,” ujarnya.

Dia menambahkan, IDI hanya bersifat mendampingi dokter Astra sebagai anggota organisasi profesi.

Semua keputusan hukum sepenuhnya berada di tangan dokter yang bersangkutan.

“Kami dari organisasi profesi tentu menjaga marwah profesi ini. Jangan sampai kasus seperti ini membuat dokter-dokter di tempat lain mengalami perlakuan serupa,” katanya. (Rezanda Akbar D) 

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved