Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

Dari Hafalan Rumus ke Logika Kehidupan: Menata Ulang Pembelajaran Numerasi

Fakta yang lebih mengkhawatirkan adalah banyak siswa yang hanya terlatih untuk menghafal rumus tanpa benar-benar memahami makna di baliknya

Penulis: Adi Tri | Editor: galih permadi
IST
Dinda Kayana Rizky Tanoto Fellow 

Oleh: Dinda Kayana Rizky, Tanoto Fellow

BEBERAPA waktu lalu, sebuah video viral memperlihatkan sekelompok siswa SMA yang gagal menyelesaikan soal perkalian dan pembagian sederhana. Tak dapat disangkal, kejadian ini memunculkan perbincangan hangat mengenai kemampuan berhitung siswa Indonesia. Bahkan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, pun mengakui bahwa masalah ini perlu perhatian serius, meskipun ia mengingatkan agar tidak melakukan generalisasi.

Namun, pernyataan tersebut menggugah saya untuk bertanya: Apakah kita benar-benar hanya sedang berbicara tentang berhitung yang salah dalam video tersebut, atau apakah ini tanda adanya masalah yang lebih besar dalam sistem pendidikan kita?

Menurut laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2022, 82 persen siswa Indonesia usia 15 tahun memiliki kemampuan numerasi yang berada di bawah tingkat kemahiran minimum. Skor ini tidak menunjukkan perkembangan berarti dibandingkan dengan 2009, yang artinya kita masih berjalan di tempat yang sama selama lebih dari satu dekade.

Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Ini menandakan adanya kesalahan dalam cara kita mempersiapkan generasi penerus untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin kompleks. Kenapa demikian? Karena numerasi (kemampuan untuk berpikir secara logis, menganalisis data, dan membuat keputusan berdasarkan angka) adalah keterampilan dasar yang dibutuhkan di hampir setiap sektor kehidupan.

Sekadar Hafal Rumus, Bukan Berpikir Kritis

Fakta yang lebih mengkhawatirkan adalah banyak siswa yang hanya terlatih untuk menghafal rumus tanpa benar-benar memahami makna di baliknya. Sebagian besar sistem pendidikan kita mengutamakan hafalan, bukan pemahaman. Ini adalah warisan dari pendekatan pendidikan yang terlalu terfokus pada ujian dan nilai akademik, bukan pada pembelajaran yang bermakna dan aplikatif.

Menghafal rumus dan mengerjakan soal hitung-hitungan tanpa pemahaman yang mendalam akan menghambat kemampuan siswa untuk memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai contoh, masih banyak anak yang kesulitan menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sekolah atau bagaimana memperkirakan jumlah pengeluaran mereka selama seminggu. Padahal, keterampilan untuk menggunakan numerasi dalam kehidupan sehari-hari seperti ini, akan membentuk pola pikir yang lebih kritis dan siap menghadapi tantangan di dunia nyata.

Kemampuan numerasi yang baik seharusnya menjadi bagian dari pendidikan yang mempersiapkan siswa untuk menjadi individu yang tidak hanya pintar secara akademis, tetapi juga cakap dalam menghadapi masalah kehidupan yang nyata. Karena ini adalah pondasi untuk hidup mandiri dan berkontribusi pada masyarakat.

Investasi Jangka Panjang untuk Pembangunan SDM

Pada jangka panjang, individu yang memiliki keterampilan numerasi yang baik akan lebih siap berkompetisi di dunia kerja. Mereka juga akan memiliki kesempatan lebih besar untuk berkontribusi pada pembangunan dan kemajuan ekonomi. Jika kita serius ingin memperbaiki kualitas sumber daya manusia (SDM) kita, investasi pada pembelajaran numerasi yang berbasis pemahaman dan logika adalah langkah pertama yang harus dilakukan. Generasi yang terlatih dalam berpikir logis dan memecahkan masalah dengan angka akan lebih produktif, lebih inovatif, dan lebih mampu menciptakan dampak positif dalam berbagai bidang, dari ekonomi hingga teknologi.

Selain itu, guru-guru juga harus didorong untuk menciptakan pembelajaran yang mengundang rasa ingin tahu dan berani mengeksplorasi solusi dari perspektif yang berbeda. Pengajaran numerasi tidak boleh lagi dianggap membosankan atau sekadar rutinitas hitungan. Untuk itu, investasi di pendidikan atau pelatihan guru wajib dilakukan. Kapasitas guru harus terus berkembang sesuai kebutuhan murid dan perkembangan zaman.

Pelibatan pihak swasta juga dapat menjadi jawaban. Pihak swasta baik sektor profit atau filantropi dapat turut berkontribusi dalam penyusunan kurikulum atau bahkan mengembangkan platform pendidikan numerasi berbasis teknologi. Jika kita mampu menggabungkan kekuatan antara inovasi pendidikan dengan teknologi, kita akan dapat menciptakan sebuah ekosistem pembelajaran yang lebih dinamis dan relevan dengan kebutuhan dunia kerja di masa depan.

Gerakan Numerasi yang Menginspirasi Butuh Ketepatan Implementasi 

Meskipun pemerintah melalui kebijakan nasional Gerakan Numerasi Nasional (GNN) sudah menciptakan fondasi yang baik, implementasi yang efektif tidak akan terjadi jika tidak ada dukungan nyata dari pemerintah daerah. Di sinilah letak tantangan terbesar kita. Pemerintah pusat memang dapat merumuskan kebijakan, namun tanpa keberanian dan kreativitas dari pemerintah daerah untuk menerjemahkan kebijakan tersebut dalam praktik sehari-hari, perubahan besar tidak akan terwujud.

Beberapa sekolah di daerah yang merupakan mitra dari Tanoto Foundation sudah menunjukkan upaya untuk berinovasi dalam pembelajaran, sebuah langkah yang layak diapresiasi. 

Di Jawa Tengah, misalnya, terdapat kelompok belajar guru yang menghubungkan konsep numerasi dengan budaya lokal. Program Ethnoscience Village Map di Kota Semarang mengajak siswa untuk belajar matematika sambil mengenal kekayaan budaya lokal mereka. Siswa belajar berhitung, menganalisis, dan mengambil keputusan dengan mengukur luas dinding mural, menghitung volume balok berbentuk tugu, atau menafsirkan pola geometris pada batik tradisional. Ini juga menunjukkan bagaimana pengetahuan ilmiah dan kebudayaan lokal dapat berjalan berdampingan.

Aplikasi Math City Map juga mengajarkan siswa untuk menghitung berdasarkan lingkungan sekitar mereka, bukan hanya teori di buku teks. Guru mengajak siswa keluar kelas untuk mengamati lingkungan sekitar, menghitung tinggi tiang bendera dengan bantuan bayangan, menaksir jarak antar bangunan, atau menalar biaya perjalanan dengan konsep perbandingan. Aplikasi tersebut menjadi jembatan antara dunia nyata dan konsep matematika, membuat siswa menyadari bahwa angka selalu hadir di sekitar mereka.

Di Tegal, lewat Kreasi Dongeng Sainsmatika, pembelajaran menggabungkan literasi dan numerasi dengan teknologi Augmented Reality (AR) dan Artificial Intelligence (AI). Lewat sains, seni, dan teknologi, siswa diajak mengubah cara memandang matematika dan angka. Mereka mendengarkan cerita di mana tersembunyi soal-soal numerasi yang harus dipecahkan untuk melanjutkan cerita. Dengan cara ini, matematika menjadi bagian dari permainan dan imajinasi, bukan sesuatu yang menakutkan.

Selain itu, program pembelajaran literasi dan numerasi berbasis STEAM dengan Pembelajaran Mendalam menjadi bukti lain bahwa numerasi bisa diajarkan secara holistik. Pendekatan ini menggunakan proyek kolaboratif di mana siswa membuat eksperimen warna untuk memahami rasio, membangun model sederhana dari bahan daur ulang, dan belajar menalar pola. Siswa tidak hanya memahami konsep matematika, tetapi juga menumbuhkan kreativitas, logika, dan rasa ingin tahu.

Contoh-contoh ini menunjukkan bahwa pendidikan numerasi tidak perlu selalu diajarkan dengan cara yang kaku dan membosankan. Sebaliknya, pembelajaran yang mengaitkan numerasi dengan kehidupan nyata dan budaya lokal dapat membuat siswa merasa lebih terhubung dan termotivasi. Bukan hanya itu, contoh-contoh tadi juga bukti konkret pentingnya kolaborasi (pemerintah dan non-pemerintah) untuk meningkatkan kapasitas sekolah sehingga lahir inovasi yang pada akhirnya berujung pada peningkatan performa siswa. 

Arah Baru untuk Pendidikan Numerasi

Saatnya kita memandang kemampuan numerasi bukan sekadar sebagai kemampuan untuk menjawab soal-soal rumus, tetapi sebagai kunci untuk membangun kemampuan berpikir kritis yang akan membawa bangsa ini menuju masa depan yang lebih baik. Dari sinilah perubahan besar dalam kualitas pendidikan Indonesia bisa dimulai.

Saatnya untuk mengembangkan inovasi lebih lanjut di tingkat daerah, dengan memanfaatkan kekayaan budaya dan kreativitas lokal untuk mengajarkan numerasi. Semua ini hanya bisa terwujud jika pemerintah daerah memiliki visi yang sama dan berani mengimplementasikan kebijakan dengan penuh dedikasi.

Kabupaten Kendal jadi salah satu yang telah bergerak. Pada tahun 2024, Peraturan Bupati Nomor 49 Tahun 2024 tentang Gerakan Peningkatan Kemampuan Literasi dan Numerasi telah ditetapkan. Melalui regulasi ini, seluruh pemangku kepentingan di Kendal—dinas pendidikan, sekolah, guru, masyarakat, dan mitra pembangunan—memiliki payung untuk bergerak bersama secara terarah. Pemerintah daerah tidak hanya mendukung kegiatan pembelajaran, tetapi juga memastikan ada ekosistem pendukung: pelatihan guru, penyediaan bahan ajar kontekstual, hingga kegiatan literasi-numerasi di tingkat sekolah.

Langkah Kendal membuktikan bahwa regulasi daerah dapat menjadi katalisator perubahan. Bila satu kabupaten mampu melahirkan kebijakan komprehensif untuk mendukung gerakan numerasi, maka daerah lain pun memiliki kesempatan yang sama. Pemerintah daerah sejatinya memiliki kekuatan strategis yang tidak dimiliki oleh pusat: kedekatan dengan sekolah dan masyarakat. Dengan dukungan kepala daerah yang visioner, dinas pendidikan yang adaptif, serta kolaborasi lintas sektor, daerah dapat menjadikan numerasi sebagai prioritas pembangunan sumber daya manusia. Inilah bentuk nyata investasi masa depan yang hasilnya mungkin tidak terlihat dalam satu atau dua tahun, tetapi akan menentukan daya saing daerah di masa depan.

Kita tidak sedang berbicara tentang angka di papan tulis, melainkan tentang kemampuan anak memahami hidupnya sendiri. Kita tidak sedang mengejar nilai ujian, tetapi menanamkan cara berpikir logis, kritis, dan bijak. Numerasi bukan hanya milik pelajaran matematika, tetapi milik setiap anak yang kelak harus mengambil keputusan dalam hidupnya: bagaimana mengatur keuangan, membaca peluang usaha, atau bahkan memahami data publik. 

Inilah saatnya menjadikan numerasi bukan beban kurikulum, melainkan investasi jangka panjang yang nilainya akan kembali pada masyarakat dan daerah. Dengan sekolah yang terus berinovasi, pemerintah pusat yang memberi arah, dan pemerintah daerah yang mengambil peran nyata, kita dapat menciptakan gerakan nasional yang solid. 

Jika Indonesia ingin bersaing di tingkat global, kita tidak bisa terus menganggap numerasi sebagai “adik kecil” literasi. Kita harus menempatkannya sejajar, bahkan sebagai fondasi berpikir kritis yang akan menentukan masa depan bangsa. Mari jadikan angka bukan sekadar pelajaran di ruang kelas, tetapi bahasa kehidupan yang menuntun setiap anak Indonesia menata masa depannya.

***

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved