Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Opini

Membangun Ketahanan Pangan dari Akar Infrastruktur

Jateng 2025-2030 akan fokus pada pembangunan infrastruktur. Sebagian besar alokasi anggaran ditekankan untuk menyasar program infrastruktur

Penulis: Adi Tri | Editor: abduh imanulhaq
IST
Prof. Suprayogi, Pakar Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) 

Oleh: Prof. Suprayogi, Pakar Pertanian Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto


PEMBANGUNAN Jateng 2025-2030 akan fokus pada pembangunan infrastruktur. Sebagian besar alokasi anggaran ditekankan untuk menyasar program infrastruktur. Baik itu infrastruktur jalan, pertanian, hingga pendidikan. Sebab, infrastruktur itu merupakan layanan dasar.

“Tahun ini infrastruktur digenjot habis. Pembangunannya fokus, tak di ecer-ecer atau di incrit-incrit. Butuh kebersamaan dari pusat, provinsi, dan kabupaten/ kota,” kata Gubernur Jateng, Ahmad Luthfi saat diwawancarai media.

Pada 2026, Jateng akan fokus pada program swasembada pangan. Hal ini untuk menjaga sekaligus menguatkan posisi Jateng sebagai lumbung pangan nasional. Pada 2024, luas lahan yang ditanami ada 1,5 juta hektare, dan menghasilkan hampir 8,8 juta ton. Hasil itu membawa Jateng sebagai provinsi nomor 2 yang berkontribusi pangan ke nasional.

Pada Januari-April 2025 ini, luas lahan yang telah ditanami ada 731 ribu hektare, dan hasil panen sudah mencapai 4,9 juta ton. Sementara di tahun ini, Jateng ditarget memproduksi 11 juta ton.

Pembangunan infrastruktur pertanian bukan sekadar proyek fisik, melainkan pondasi bagi ketahanan dan swasembada pangan yang telah lama menjadi cita-cita nasional. Program pemerintah melalui Kabinet Merah Putih yang menempatkan sektor pangan sebagai prioritas, patut diapresiasi.

Namun, keberhasilan program tersebut tidak hanya bergantung pada semangat politik, tetapi juga pada kesiapan infrastruktur dan alat mesin pertanian (alsintan) yang sesuai dengan karakter lahan di Indonesia.

Selain infrastruktur pertanian, kita tak boleh melupakan infrastruktur pendukung lain seperti jalan dan transportasi hasil panen. Banyak daerah pertanian produktif justru terhambat bukan karena hasil panennya sedikit, tetapi karena akses jalannya rusak atau terputus saat musim hujan. Bayangkan, betapa sia-sianya investasi alat pertanian modern jika hasilnya tidak bisa diangkut tepat waktu.

Untuk sektor pertanian non-food estate yang telah lama berjalan di berbagai daerah, keberlanjutan menjadi kata kunci. Sistem irigasi harus dijaga, saluran air diperbaiki, dan pengelolaan sumber daya air diperkuat.
Namun, membangun ketahanan pangan tidak cukup hanya dengan infrastruktur dan alat. Kita perlu belajar dari masa lalu, khususnya dari pengalaman sukses Orde Baru ketika program Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun) berjalan dengan arah yang jelas dan terukur. Setiap program dilandasi perencanaan matang, bukan sekadar proyek jangka pendek.

Sayangnya, target swasembada pangan saat ini masih tampak bergerak tanpa peta yang solid. Terlalu banyak pendekatan learning by doing tanpa kejelasan arah jangka panjang. Padahal, sektor pangan menuntut stabilitas kebijakan, kepastian investasi, dan keberlanjutan lintas pemerintahan.

Meski demikian, kita tetap perlu optimistis. Indonesia memiliki potensi besar: sumber daya alam yang luas, tenaga muda yang terdidik, dan kemajuan teknologi yang terus berkembang. Yang dibutuhkan sekarang adalah sinkronisasi antar-kementerian dan keberanian untuk menata ulang perencanaan pangan secara terintegrasi, minimal dalam kerangka lima tahun ke depan.

Swasembada pangan bukan mimpi yang mustahil, asalkan fondasinya dibangun dari bawah: dari riset, dari petani, dari alat yang tepat, dan dari infrastruktur yang kokoh. Pembangunan pertanian harus menjadi kerja jangka panjang yang berpijak pada realitas, bukan sekadar retorika politik musiman. (*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved