Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

UIN SAIZU Purwokerto

Ketika Kasih Sayang Kitab Kuning Menjelma Jadi Regulasi Kemenag

Program Pesantren Ramah Anak (PRA) yang diinisiasi Kementerian Agama RI sering dipahami sebagai langkah modern untuk menjawab problem kekerasan

Penulis: Adi Tri | Editor: galih permadi
IST
Prof. Dr. Kholid Mawardi, M.Hum, Guru Besar FUAH UIN Saizu Purwokerto. Program Pesantren Ramah Anak (PRA) yang diinisiasi Kementerian Agama RI sering dipahami sebagai langkah modern untuk menjawab problem kekerasan dan perlindungan anak di lembaga keagamaan. Namun di balik tampilannya yang modern dan regulatif, sesungguhnya program ini memiliki “DNA tradisional” yang kuat tertanam dalam nilai-nilai akhlak klasik pesantren dan termaktub dalam kitab-kitab legendaris seperti Adabul ‘Alim wal Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari dan Ta’limul Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji. 


(Dari Kitab ke Kebijakan: Resonansi Pesantren Ramah Anak dalam Cermin Teori Ekologi Bronfenbrenner dan Tradisi Akhlak Pesantren)

Oleh Prof. Dr. Kholid Mawardi, M.Hum, Guru Besar FUAH UIN Saizu Purwokerto

PROGRAM Pesantren Ramah Anak (PRA) yang diinisiasi Kementerian Agama RI sering dipahami sebagai langkah modern untuk menjawab problem kekerasan dan perlindungan anak di lembaga keagamaan. Namun di balik tampilannya yang modern dan regulatif, sesungguhnya program ini memiliki “DNA tradisional” yang kuat tertanam dalam nilai-nilai akhlak klasik pesantren dan termaktub dalam kitab-kitab legendaris seperti Adabul ‘Alim wal Muta’allim karya KH. Hasyim Asy’ari dan Ta’limul Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji.

Untuk membaca resonansi antara nilai kitab klasik dan kebijakan kontemporer ini, tulisan ini menggunakan perspektif teori sistem ekologi Urie Bronfenbrenner sebuah kerangka yang memandang perkembangan individu (dalam hal ini santri) sebagai hasil interaksi berbagai sistem yang saling berlapis: dari hubungan personal di dalam pesantren (microsystem), hingga kebijakan nasional dan nilai-nilai budaya (macrosystem).

Melalui lensa Bronfenbrenner, praktik pendidikan dan pengasuhan di pesantren dapat dipahami sebagai ekosistem moral yang hidup tempat kitab kuning, kiai, santri, keluarga, dan negara berinteraksi membentuk pengalaman belajar yang ramah, manusiawi, dan spiritual.

Dengan demikian, esai ini berupaya menunjukkan bahwa PRA bukan sekadar kebijakan baru, melainkan tafsir kontemporer atas kasih sayang yang telah menjadi ruh pesantren selama berabad-abad.

Microsystem: Dari Adab Guru-Murid ke Pengasuhan yang Penuh Cinta

Pada tingkatan microsystem, tempat interaksi paling intim antara kiai dan santri terjadi, PRA mendorong perubahan gaya asuh dari model “keras demi disiplin” menuju “tegas tapi penuh empati.” Regulasi Kemenag menegaskan bahwa pengajar di pesantren wajib menumbuhkan suasana aman dan mendukung.

Menariknya, ini bukan konsep baru. Dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim, KH. Hasyim Asy’ari menulis:

“فَلْيَرْفُقْ بِالطَّالِبِ فِي تَعْلِيمِهِ” Hendaklah guru bersikap lembut kepada muridnya dalam proses mengajar.

Pesan lembut ini sudah menjadi kode etik pendidik pesantren sejak dahulu: mendidik tanpa menyakiti, menegur tanpa menghina. Maka ketika KPAI menyosialisasikan pesantren ramah anak di Babussalam Jombang, sejatinya mereka hanya sedang menghidupkan ulang ajaran yang telah tertulis di kitab kuning sejak ratusan tahun lalu.

Mesosystem: Harmoni antara Pesantren, Keluarga, dan Masyarakat

Di lapisan mesosystem, hubungan pesantren dengan keluarga dan masyarakat menjadi medan penting bagi pembentukan karakter santri. PRA menuntut komunikasi terbuka antara pengasuh, wali santri, dan komunitas sekitar.

Konsep ini sejatinya berakar dari nilai ukhuwah yang hidup di pesantren: saling menjaga, saling mendidik. Kolaborasi Kemenag Sumenep dengan RMI NU dan para psikolog untuk membentuk pesantren ramah anak, misalnya, adalah cerminan modern dari silaturahim pendidikan yang dulu dijaga melalui kunjungan kiai ke rumah santri dan majelis taklim warga.

Pesantren, dalam konteks ini, bukan institusi tertutup melainkan ekosistem moral yang berdenyut bersama masyarakatnya.

Exosystem: Ulama dan Lembaga sebagai Penjaga Etika

Pada tingkat exosystem, dukungan eksternal dari Kemenag, LSM, atau tokoh masyarakat menjadi cermin peran ulama zaman dulu yang menjaga moral dan kebijakan pesantren.

KH. Hasyim Asy’ari sendiri menulis kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim bukan sekadar untuk guru, tetapi sebagai panduan sosial. Peran Kemenag Lebak yang menegaskan standar pesantren ramah anak hari ini, sejatinya meneruskan peran kiai klasik sebagai murabbi al-ummah pendidik umat dari balik sistem.

Dengan kata lain, kebijakan modern ini adalah “ijtihad kelembagaan” yang melanjutkan spirit ta’dib (pendidikan moral) dari masa lalu.

Macrosystem: Nilai Universal dalam Bingkai Syariat dan Budaya

Lapisan macrosystem memuat nilai budaya dan hukum yang melandasi sistem pendidikan pesantren. Nilai-nilai yang diusung PRA aman, sehat, bersih, inklusif, dan nyaman bukanlah inovasi baru, melainkan aktualisasi ajaran Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

KMA No. 91 Tahun 2025 dan Kepdirjen No. 1262 Tahun 2024 tentang pengasuhan ramah anak di pesantren mengokohkan hal ini. Regulasi itu berfungsi sebagai “kitab kuning birokratis” membumikan nilai kitab klasik dalam bahasa hukum modern.

Dalam kerangka budaya, PRA adalah bentuk tajdid (pembaruan) yang tetap berpijak pada tradisi: melindungi anak bukan sekadar karena tren, tapi karena iman.

Chronosystem: Tradisi yang Beradaptasi dengan Zaman

Sejak uji coba PRA pada 2010 hingga dilembagakan secara nasional pada 2019 dan 2025, pesantren menunjukkan daya adaptasi luar biasa terhadap perubahan zaman.

Dulu, rotan dianggap wajar; kini, empati menjadi alat pendidikan. Evolusi ini menunjukkan bahwa pesantren tidak kehilangan identitas, melainkan menegaskan jati dirinya sebagai lembaga yang selalu belajar dari pengalaman.

Kitab klasik tetap relevan, tapi tafsirnya harus progresif. Seperti kata pepatah pesantren: Al-muhafazhah ‘ala al-qadim ash-shalih, wal akhdzu bil jadid al-ashlah menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.

Kesimpulan: Sintesis Tradisi dan Inovasi

Program Pesantren Ramah Anak bukanlah proyek sekulerisasi pendidikan, melainkan reinkarnasi nilai akhlak pesantren dalam wajah kebijakan kontemporer.

Kitab-kitab akhlak telah lama mengajarkan bahwa kasih sayang, kelembutan, dan tanggung jawab adalah inti pendidikan Islam. PRA hanya menegaskan kembali pesan tersebut dengan bahasa regulasi.

Jika kitab akhlak adalah nurani pesantren, maka PRA adalah cahayanya di zaman ini.

Pesantren, dengan kekayaan tradisinya, bukan hanya tempat mencari ilmu, tapi juga ruang hidup di mana kasih sayang menjadi metode pendidikan, bukan sekadar materi pelajaran. Dengan demikian, PRA bukanlah inovasi asing, melainkan gema lama yang kini berbicara dengan mikrofon baru. (***)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved