Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Pendidikan

Ris Polimarin dan Kemendiktisaintek Ubah Hasil Tangkapan Tak Laku Jadi Pakan Ikan Bernilai Tinggi

Pemanfaatan hasil tangkapan ikan yang bernilai ekonomis rendah atau sering disebut ikan rucah kini mulai dilirik

Istimewa
pameran - Wamendiktisaintek, Prof. Dr. Fauzan, M.Pd (kiri) mengunjungi both Polimarin dalam sebuah pameran di Semarang baru-baru ini. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Pemanfaatan hasil tangkapan ikan yang bernilai ekonomis rendah atau sering disebut ikan rucah kini mulai dilirik sebagai bahan baku potensial dalam produksi pakan ikan. 

Melalui program Berdikari yang digagas oleh Kemendiktisaintek, tim peneliti dari Politeknik Maritim Negeri Indonesia bersama sejumlah perguruan tinggi di Jawa Tengah mengembangkan inovasi bio-ekonomi untuk mengubah hasil tangkapan non-ekonomis menjadi pelet apung bernutrisi tinggi.

“Indonesia sebenarnya memiliki sumber protein melimpah dari hasil tangkapan ikan rucah yang selama ini belum termanfaatkan optimal,” ujar Prof. Dr. Sri Tutie Rahayu, M.Si., peneliti dari Politeknik Maritim Negeri Indonesia, dalam rilisnya, Senin (10/11).

Selain Prof. Dr. Sri Tutie Rahayu, M.Si., penelitian ini melibatkan beberapa akademisi lintas institusi, antara lain Prof. Dr. Dra. Emiliana Sri Pudjiarti, M.Si. (Universitas 17 Agustus), Ir. Akhmad Nuriyanis, M.T., Ario Hendartono, S.Pd., M.Pd., Dr. Hero Budi Santoso, M.M., dan Arif Rakhman Suharso, S.T., M.T. dari Polimarin.

Menurutnya, sekitar 30–40 persen hasil tangkapan di pelabuhan perikanan masih tergolong hasil sampingan atau by-catch yang bernilai rendah. Prof. Tutie menjelaskan, kondisi ini bukan hanya terjadi di Indonesia.

 “Data FAO tahun 2022 menunjukkan sekitar 35 persen hasil tangkapan ikan global terbuang sia-sia. Jadi ini masalah global yang butuh solusi konkret, bukan sekadar isu lokal,” tegasnya. 

Dari sinilah ide riset tersebut berangkat: mengubah limbah menjadi sumber ekonomi baru bagi nelayan dan pembudidaya ikan.

Dalam penelitian yang dilakukan di sejumlah pelabuhan perikanan di Jawa Tengah, tim menemukan potensi besar dari ikan rucah sebagai bahan baku pakan alternatif. 

“Ikan rucah itu sebenarnya kaya protein. Hanya saja bentuk dan ukurannya kecil, tidak layak jual untuk konsumsi, tapi sangat ideal untuk dijadikan tepung ikan sebagai bahan dasar pelet,” paparnya.

Proses pengolahan dilakukan melalui serangkaian tahap, mulai dari penepungan ikan rucah dengan mesin penepung hingga pencetakan menggunakan mesin pelet apung tipe extruder. 

“Kami menguji hasilnya di laboratorium pakan. Hasilnya cukup menggembirakan karena kadar proteinnya mencapai sekitar 40 persen,” kata Prof. Tutie. 

Pelet ini juga dinilai lebih ekonomis dibandingkan produk pakan apung komersial yang beredar di pasaran. Selain pakan ikan, tim peneliti juga menghasilkan produk tambahan berupa lele bumbu kemasan.

 “Produk ini menjadi bentuk diversifikasi hasil riset kami. Jadi tidak hanya berhenti di pakan, tetapi juga sampai pada produk konsumsi masyarakat,” tambahnya. 

Dengan demikian, model riset ini mampu memberikan nilai tambah ekonomi di berbagai rantai produksi perikanan. 

Kebaruan ilmiah dalam riset ini, lanjut Prof. Tutie, terletak pada pengembangan model bio-ekonomi terintegrasi. 

“Kami tidak hanya fokus pada teknologi pengolahan, tapi juga membangun model ekonomi yang mempertimbangkan keberlanjutan sosial dan lingkungan. Aspek ini sangat penting untuk memastikan hasil riset bisa diterapkan secara luas dan berkelanjutan,” jelasnya.

Model yang dikembangkan juga memperhitungkan faktor-faktor seperti musim hasil tangkapan, komposisi nutrisi ikan rucah, efisiensi konversi pakan, serta analisis biaya-manfaat.

 “Pendekatan seperti ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Biasanya riset berhenti pada teknologi, padahal keberlanjutan itu butuh pendekatan ekonomi dan sosial juga,” ungkapnya.

Prof. Tutie berharap hasil riset ini bisa menjadi salah satu solusi bagi industri budidaya ikan air tawar yang kini menghadapi tantangan harga pakan yang tinggi. 

“Kalau bisa memanfaatkan sumber daya lokal dengan teknologi tepat guna, biaya produksi bisa ditekan, nelayan diuntungkan, dan lingkungan juga terjaga,” katanya optimistis.

Menutup perbincangan, Prof. Tutie menegaskan pentingnya sinergi antara akademisi, pemerintah, dan pelaku industri.

 “Kami dari perguruan tinggi bisa menyediakan basis riset dan teknologi. Namun implementasinya harus didukung oleh kebijakan yang berpihak pada inovasi lokal dan kemitraan dengan masyarakat pesisir. Dengan begitu, perikanan Indonesia bisa benar-benar berdikari dan berkelanjutan,” pungkasnya. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved