Readers Note
Anak Dididik Bukan Dibidik
Sebagian besar guru sebenarnya tidak bermaksud menyakiti, mereka hanya mengulang pola yang dulu dialami saat kecil.
Langkah kecil bisa dimulai dari suasana kelas. Guru bisa menyapa dengan senyum, memberi waktu anak berbagi cerita, atau menggunakan kata-kata positif saat menegur. Membuat kesepakatan kelas menjadi panduan bersama dalam mengontrol perilaku siswa. Jika anak berbuat salah, ajaklah bicara bukan membentak. Tanyakan apa yang terjadi, apa yang bisa diperbaiki, dan bagaimana melakukannya bersama. Dari situ, anak belajar bertanggung jawab, bukan sekadar takut.
Ramah Anak
Sekolah pun perlu membangun budaya tanpa kekerasan. Bukan sekadar slogan “Satuan Pendidikan Ramah Anak”, tapi lewat perilaku nyata setiap hari. Kepala sekolah mendukung pendekatan disiplin positif dengan membuat kebijakan dan membangun komitmen bersama guru. Orang tua dilibatkan dalam membangun dan mengembangkan konsistensi perilaku positif di rumah.
Dan yang sering terlupa, guru juga membutuhkan ruang aman. Banyak kekerasan muncul bukan karena niat buruk, tapi karena guru lelah dan tidak memiliki tempat untuk menenangkan diri. Dukungan emosional, pelatihan pengelolaan stres, dan komunitas belajar sesama guru bisa menjadi sumber kekuatan. Guru yang tenang dan bahagia akan lebih mudah menumbuhkan suasana belajar yang hangat.
Ruang belajar yang aman bukan berarti tanpa aturan. Disiplin tetap ada, tapi ditegakkan dengan empati. Kesalahan tetap dikoreksi, tapi dengan kasih. Ketika sekolah menjadi tempat yang membuat anak merasa aman untuk tumbuh dan belajar, di situlah makna pendidikan sejati menemukan tempatnya. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/Saniatus-Solihah-SE-mahasiswa-Magister-Sains-Psikologi-Unika-Soegijapranata.jpg)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.