Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Readers Note

Bermain Jadi Cara Paling Cerdas Mendidik Anak Usia Dini

Di sisi lain, sebagian orang tua bangga karena anaknya yang masih berusia empat tahun sudah bisa membaca atau berhitung.

Editor: iswidodo
tribunjateng/dok pribadi
Bryan Evanson Sakul penulis artikel magister psikologi UNIKA 

Bermain Jadi Cara Paling Cerdas Mendidik Anak Usia Dini
Oleh Bryan Evanson Sakul, SPsi | Mahasiswa Magister Psikologi Unika Soegijapranata

SEBAGAI WNI kita patut bersyukur dengan adanya bonus demografi untuk menyongsong Indonesia Emas pada Tahun 2045. Data dari Badan Pusat Statistik menunjukan pada tahun 2023, jumlah anak usia dini (usia 0-6 tahun) di Indonesia saat ini sekitar 30, 2 juta jiwa. Jumlah ini jangan dilihat sebagai angka saja, namun harus dilihat sebagai masa depan Bangsa Indonesia. 

Dari 30, 2 juta jiwa anak usia dini, ada 6,8 juta anak di Indonesia yang mengikuti pendidikan formal di jenjang TK/ PAUD. lebih dari 23 juta jiwa anak yang harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan pendidikan secara formal.

Setiap sore di taman-taman kota, pemandangan yang dulu sering kita lihat, anak-anak berlarian, tertawa, bermain sepeda, atau bermain sepak bola kini semakin jarang terlihat. Anak-anak lebih sering duduk diam sambil menunduk menatap layar gawainya, tenggelam dalam dunia digital yang minim interaksi. 

Di sisi lain, sebagian orang tua bangga karena anaknya yang masih berusia empat tahun sudah bisa membaca atau berhitung. Namun di balik rasa bangga itu, ada sesuatu yang perlahan hilang: masa kecil yang sesungguhnya, yang penuh imajinasi, tawa, dan kebebasan. Bila kondisi ini terus berlanjut, kita akan kehilangan generasi anak yang tumbuh dengan rasa empati, spontanitas, dan rasa ingin tahu yang besar.

Alami dan Efektif

Padahal, bermain bukan sekadar hiburan. Bagi anak usia dini, bermain adalah bentuk belajar yang paling alami dan efektif. Saat bermain, anak tidak hanya bersenang-senang; ia sedang berpikir, merancang strategi, mengasah kemampuan bahasa, dan mengendalikan tubuhnya. Setiap gerakan, tawa, dan interaksi yang muncul adalah proses neurologis yang kompleks yang memperkuat koneksi otak serta membentuk kecerdasan jangka panjang. Karena itu, bermain seharusnya tidak dianggap sebagai pengisi waktu luang, melainkan jantung utama pendidikan anak usia dini.

Para ahli perkembangan anak menyebut masa usia dini sebagai golden age, periode emas ketika potensi anak berkembang paling cepat. Sayangnya, banyak anak kita melewatkan fase penting ini karena keinginan orang tua untuk melihat hasil instan. Anak yang seharusnya bermain justru duduk berjam-jam memegang pensil dan menyalin huruf. 

Padahal, penelitian dari Harvard Center on the Developing Child menunjukkan bahwa free play justru memperkuat kemampuan berpikir fleksibel dan regulasi diri anak, dua hal yang menjadi kunci sukses perkembangan jangka panjang. Anak yang belajar melalui bermain tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, kreatif, dan berani mencoba hal baru.

Untuk menggambarkan hal itu, bayangkan seorang anak kecil yang tengah menyusun balok hingga tinggi. Ia berpikir keras agar bangunannya tidak roboh. Ketika balok itu jatuh, anak belajar tentang keseimbangan, gravitasi, dan ketekunan. Ia tidak membaca teori fisika, tetapi sedang mengalaminya secara nyata. Dari situ, anak belajar menghadapi kegagalan dengan rasa ingin tahu bukan dengan rasa takut, itulah cikal bakal mental tangguh yang ia perlukan kelak dalam kehidupan.

Komunikasi dan Sosialisasi

Lebih dari itu, bermain juga merupakan sarana utama bagi anak untuk belajar berkomunikasi dan bersosialisasi. Saat bermain peran menjadi dokter, polisi, pemadam kebakaran, atau koki, anak belajar membangun cerita, bekerja sama, bernegosiasi, dan berkomunikasi dengan orang lain. Ia memahami bahwa setiap orang memiliki peran dan tanggung jawab yang berbeda. Kegiatan yang tampak sederhana ini sebenarnya menumbuhkan empati, yang kini justru langka di tengah dunia yang semakin individualistik. Anak yang terbiasa berinteraksi saat bermain akan tumbuh menjadi pribadi yang peduli dan mampu bekerja sama dengan sesamanya.

Namun kini, semakin banyak anak yang tumbuh di lingkungan dengan keterbatasan ruang dan waktu untuk bermain. Waktu mereka habis oleh jadwal les yang padat dan paparan layar digital. Ruang publik semakin menyempit; taman-taman berubah menjadi area komersial. Sekolah pun sering kali lebih berfokus pada hasil nilai daripada pada proses dan rasa ingin tahu anak. Padahal, bermain di luar ruangan memiliki manfaat luar biasa bagi kesehatan fisik, perkembangan motorik, serta keseimbangan emosi.

Dominasi gawai memperparah keadaan ini, dunia digital membuat anak duduk diam dan pasif. Mereka memang tampak fokus, tetapi kehilangan kesempatan untuk berinteraksi langsung dengan orang lain, interaksi yang sebenarnya menumbuhkan empati dan kecerdasan emosional. Kesempatan berharga itu tak bisa digantikan oleh dunia virtual secanggih apa pun. Anak yang kehilangan waktu bermain di dunia nyata sesungguhnya kehilangan kesempatan untuk belajar menjadi manusia seutuhnya.

Para tokoh pendidikan klasik sudah lama menegaskan pentingnya bermain. Friedrich Froebel, pencipta taman kanak-kanak pertama di dunia, pernah berkata bahwa “bermain adalah pekerjaan utama anak.” Dalam The Handbook of the Study of Play (Johnson, 2015), bermain dipandang sebagai proses self-realization, sebuah cara anak memahami dirinya dan lingkungannya melalui pengalaman langsung. Pandangan ini menegaskan bahwa bermain adalah jalan anak menumbuhkan kesadaran, kreativitas, dan kebijaksanaan hidup.

Sayangnya, banyak orang dewasa justru tanpa sadar merenggut hak alami itu. Anak-anak dipaksa belajar dengan cara pandang orang dewasa: duduk di kursi, memegang pensil, dan mengejar nilai akademis. Anak-anak yang terlalu dibebani tuntutan akademik sering kehilangan semangat alami untuk bereksplorasi. Mereka belajar untuk takut salah, bukan untuk berani mencoba. Dalam jangka panjang, tekanan seperti ini membuat anak kehilangan kepercayaan diri dan rasa cinta terhadap proses belajar itu sendiri.

Di sinilah peran orang tua menjadi sangat penting. Anak tidak membutuhkan mainan mahal, tetapi membutuhkan teman bermain yang penuh perhatian. Waktu bermain bersama anak, meskipun singkat, bisa menjadi momen yang paling berharga dan diingat anak sepanjang hidupnya. Saat orang tua ikut bermain, mereka tidak hanya menemani, tetapi membangun kelekatan emosional yang menjadi dasar rasa percaya diri anak. 

Dalam pelukan dan tawa orang tua, anak belajar bahwa dunia adalah tempat yang aman untuk tumbuh dan belajar. Selain keluarga, pemerintah dan masyarakat luas juga memiliki tanggung jawab besar. Perlu lebih banyak ruang terbuka hijau, taman, dan fasilitas yang ramah anak. 

Teman Sebaya

Ketika anak-anak bermain bersama teman sebayanya, mereka belajar tentang aturan, peran, dan kerja sama, semua itu membentuk kepribadian sosial mereka. Di tengah dunia yang sibuk dan kompetitif, bermain sering dianggap sepele, padahal justru dari aktivitas sederhana inilah lahir kecerdasan emosional. Bermain membangun keseimbangan antara pikiran dan perasaan, antara otak kiri dan otak kanan, serta antara logika dan empati. Anak yang bermain dengan gembira akan tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri, mandiri, dan kreatif. 

Di balik setiap permainan sederhana tersimpan proses belajar yang jauh lebih mendalam daripada sekadar nilai di rapor. Bermain membuat anak siap menghadapi masa depan, bukan karena ia tahu banyak hal, tetapi karena ia memiliki rasa ingin tahu yang tak pernah padam.

Karena itu, sudah saatnya kita mengembalikan hak anak untuk bermain. Orang tua perlu berhenti merasa bersalah ketika anak “hanya bermain,” karena di sanalah sebenarnya mereka sedang bekerja paling keras untuk tumbuh. Sekolah perlu melihat bermain bukan sebagai gangguan, tetapi sebagai inti dari pendidikan. Masyarakat pun perlu menyediakan ruang agar anak dapat tertawa, berlari, dan berimajinasi tanpa rasa takut. Masa depan anak dimulai dari hal sederhana: satu jam bermain yang penuh makna setiap hari.

Bermain bukanlah lawan dari belajar, ia adalah bentuk belajar paling mendalam. Seperti dikatakan Froebel, “bermain adalah ekspresi tertinggi perkembangan manusia.” Melalui bermain, anak menemukan dunia, membentuk karakter, dan membangun kecerdasan. Maka, ketika kita memberi anak waktu untuk bermain, kita sebenarnya sedang memberi mereka masa depan. Sebab dari permainan yang sederhana itulah tumbuh generasi yang bahagia, berdaya, dan mencintai kehidupan.

Pernahkah kita sebagai orang dewasa (baik sebagai orang tua, tenaga pendidik, ataupun masyarakat luas) melihat anak yang murung, terlihat lesu/ tidak bersemangat, atau lebih senang bermain gawai dibandingkan bermain bersama teman-teman, dan juga lebih mudah marah/ tantrum. Apabila kondisi seperti ini sudah terjadi dalam jangka waktu lebih dari satu bulan berturut-turut, maka sebagai orang tua, guru, atau bahkan keluarga dan masyarakat, bisa segera memberikan penanganan lebih lanjut. 

Waktu Bermain

Orang tua maupun guru dapat memberikan waktu khusus untuk bermain bersama anak, dimana waktu tersebut dikhususkan untuk anak tanpa adanya gangguan lain, seperti HP, TV. usahakan untuk memberikan perhatian penuh saat bermain dengan anak, saat bermain biarkan anak yang memilih kegiatan tanpa adanya koreksi atau komentar negatif dari orang tua maupun guru. Buat waktu bermain bersama anak sebagai waktu yang khusus, agar anak merasa kegiatan bermain bersama orang tua maupun guru adalah kegiatan yang istimewa. 

Orang tua juga bisa membatasi penggunaan gawai bagi anak usia dini (menurut WHO, durasi maksimal penggunaan screen time pada anak adalah 60 menit setiap harinya). Memberikan aktivitas fisik terarah bagi anak, hal ini juga terbukti dapat membuat anak lebih sehat, fokus, dan meningkatkan kemampuan kognitifnya. Hal sederhana yang bisa dilakukan adalah berjalan di taman, bermain lempar tangkap bola, bermain sepeda, berenang, gerakan gymnastic dan yoga. 

Orang tua dan guru juga diharapkan berkonsultasi dengan pihak profesional untuk mendapatkan hasil yang maksimal untuk anaknya. Bisa melalui konsultasi dengan Psikolog, Dokter Tumbuh Kembang, maupun konselor. (*)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved