Breaking News
Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Sidang Kasus Kematian Dokter Aulia

Taufik Terdakwa Kasus Pemerasan Berujung Maut PPDS Undip Melawan, Sebut Pungutan BOP Sejak 2003

Terdakwa kasus dugaan pemerasan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro

Penulis: Lyz | Editor: muh radlis
Tribunjateng/Iwan Arifianto
PEMBELAAN - Sebanyak tiga terdakwa kasus PPDS Undip mengikuti persidangan dengan agenda pembelaan di Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (17/9/2025). 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Terdakwa kasus dugaan pemerasan dalam Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Universitas Diponegoro (Undip), Taufik Eko Nugroho, menolak sebagian dakwaan yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Penolakan itu disampaikan dalam nota pembelaan atau pledoi di sidang Pengadilan Negeri Semarang, Rabu (17/9/2025).

Taufik, yang dituntut dengan hukuman paling berat dibanding dua terdakwa lain, membantah dirinya sebagai pelaku tunggal pemerasan dengan modus Biaya Operasional Pendidikan (BOP).

Dalam pledoi yang dibacakan kuasa hukumnya, Paulus Sirait, disebutkan bahwa pungutan BOP sudah berlangsung sejak lama.

"Ketika terdakwa (Taufik) menjalani PPDS pada tahun 2009 juga sudah ada (BOP)," kata Paulus.

Isu BOP menjadi salah satu sorotan utama dalam kasus dugaan pemerasan dan perundungan di lingkungan PPDS Undip yang menyeret nama Taufik.

Kasus ini mencuat setelah meninggalnya Aulia Risma Lestari, mahasiswa PPDS angkatan 77.

Jaksa menekankan bahwa pungutan BOP tersebut bermasalah karena tidak memiliki dasar aturan resmi dari pihak universitas.

Nominal yang diminta pun tidak kecil, yakni mencapai sekitar Rp80 juta per mahasiswa residen.

Total pungutan yang terkumpul disebut bernilai miliaran rupiah.

Paulus melanjutkan, kliennya yang menjabat sebagai Kaprodi PPDS Anestesia Undip sejak 2018 bukan merupakan pencetus adanya penarikan BOP dari residen.

Sebaliknya, Taufik berupaya melakukan perbaikan dengan permintaan uang BOP disesuaikan dengan jadwal ujian residen.

"Terdakwa menolak dakwaan JPU yang menyebut mempertahankan sistem dan budaya senioritas di PPDS Anestesia Undip untuk memperlancar penarikan BOP," katanya.

Bantahan lainnya dari Taufik yakni soal dakwaan telah menikmati dana BOP sebesar Rp177 juta.

Menurut Paulus, dana tersebut adalah hak honor Taufik yang secara sah telah diterapkan oleh Kepala Program Studi sebelumnya.

"Penentuan besaran honor tersebut tidak ada keterlibatan dari terdakwa," ucapnya.

Begitupun soal pengelolaan uang residen oleh Sri Maryani, staf administrasi Prodi PPDS Anestesia Undip yang juga berstatus sebagai terdakwa dalam kasus ini.

Paulus merinci, Maryani telah mengelola dana BOP sejak 2014.

Artinya, jauh sebelum Taufik menjadi Kaprodi PPDS Anestesi Undip pada 2018.

"Taufik tidak memerintahkan Sri Maryani dalam mengelola uang BOP residen tersebut," bebernya.

Sementara, dua terdakwa lainnya Sri Maryani dan Zara Yupita Azra juga menolak sejumlah dakwaan dari JPU soal dugaan pemerasan dan intimidasi dalam kasus PPDS Undip tersebut.

Sebagaimana diberitakan, jaksa menyatakan tuntunan berbeda terhadap Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani dua terdakwa kasus pemerasan dan perundungan mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi Universitas Diponegoro (Undip) Aulia Risma Lestari.

Taufik Eko Nugroho mantan kepala Prodi PPDS Undip dituntut hukuman pidana selama 3 tahun penjara.

Tuntutan jaksa lebih rendah terhadap terdakwa Sri Maryani mantan staf administrasi di Prodi PPDS Anestesi Undip yang dituntut 1 tahun 6 bulan penjara.

Jaksa menilai, perbedaan tuntutan tersebut karena Taufik berperan memberikan perintah kepada Sri Maryani.

Selain itu, tuntutan Taufik lebih berat lantaran tidak mengakui perbuatannya dan cenderung menyalahkan Sri Maryani. 

Kedua terdakwa dituntut sesuai pasal 368 ayat 2 junto pasal 64 ayat 1 KUHP.

Dua terdakwa Taufik Eko Nugroho dan Sri Maryani melakukan tindakan pemerasan secara ilegal melalui skema Biaya Operasional Pendidikan (BOP) terhadap para mahasiswa residen dari tahun 2018 hingga 2023.  

Selama kurun waktu tersebut, mereka mampu mengumpulkan uang sebesar Rp2,49 miliar.

Pembayaran ini tidak menggunakan rekening kampus melainkan rekening atas nama Sri Mariyani.

Pembayaran tersebut tercatat pula dalam buku  warna kuning berisi catatan tanda terima uang BOP yang berasal dari para residen.

Sementara terdakwa Zara Yupita Azra dituntut oleh jaksa dengan hukuman pidana penjara selama 1 tahun dan 6 bulan.

Jaksa menyakini Zara telah melakukan tindakan pemerasan dan melakukan pengancaman kepada korban sebagaimana dakwaan pasal  368 ayat 1 KUHP dan pasal 64 ayat 1 KUHP.

Perbuatan itu telah  dilakukan terdakwa selama rentang waktu Juni 2022 hingga Januari 2023. (Iwn)

Sumber: Tribun Jateng
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved