Manfaatkan Mangrove, Sunarni dan Kelompok Merah Delima Olah Camilan Pesisir Semarang

Pelatihan mereka tempuh sampai Indramayu, Cirebon, Surabaya, Jogja berkali-kali, untuk memahami karakter tanaman pesisir yang keras kepala ini.

Soal pemasaran, Merah Delima belum melangkah sejauh ambisinya. Pesanan datangnya masih musiman dari dinas, kampus, atau masyarakat yang sudah kenal. 

Satu kemasan keripik dihargai Rp18.000, brownies antara Rp12.000—Rp15.000. Ketika ditanya jumlah omzet yang dia dapatkan, Sunarni hanya berseloroh.

“Cuma buat nambah beli cabe,” seloroh Sunarni, tapi dari rautnya tampak kebanggaan kecil yang tak ia ucapkan.

Dalam setahun, pesanan bisa mencapai ratusan bungkus. 

Tidak selalu stabil, tapi cukup membuat dapur ibu-ibu ini tetap menyala. 

“Kami ini bukan pabrik. Tapi kalau ada pesanan, ya dikerjakan bareng-bareng,” kata Sunarni

Yang mereka kejar sebenarnya bukan klaim kesehatan atau label PIRT yang masih tersendat.

Yang mereka jaga adalah narasi tentang kampungnya Tambaklorok yang tak hanya melawan abrasi, tapi juga mengolah apa yang tumbuh di pinggirannya menjadi identitas baru.

“Mangrove ini kan di sini banyak. Sayang kalau cuma ditanam,” kata Sunarni. 

Tambaklorok mungkin belum usai berbenah dengan rencana wisata yang terus didorong pemerintah tapi Merah Delima sudah lebih dulu menunjukkan bahwa kampung pesisir bisa menciptakan nilai tanpa kehilangan akarnya

Perempuan-perempuan ini tidak hanya membantu suaminya menjaga mangrove mereka ikut menjaga agar identitas kampungnya tetap tumbuh dan punya rasa. (Rad)