Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Semarang

Manfaatkan Mangrove, Sunarni dan Kelompok Merah Delima Olah Camilan Pesisir Semarang

Pada perkampungan Tambakrejo yang terletak di pesisir utara Kota Semarang selalu berbau asin laut dan suara perahu yang pulang-pergi.

Penulis: Rezanda Akbar D | Editor: rival al manaf
TRIBUNJATENG/REZANDA AKBAR D.
PAMERKAN PRODUK - Sunarni menunjukan produk olahan daun mangrove 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG – Pada perkampungan Tambakrejo yang terletak di pesisir utara Kota Semarang selalu berbau asin laut dan suara perahu yang pulang-pergi seperti napas panjang kampung pesisir, ada sekelompok ibu-ibu yang sejak hampir satu dekade terakhir menolak diam. 

Nama mereka Merah Delima lahir dari era batu akik, tapi punya makna yang jauh lebih membumi harapan akan lingkungan mangrove yang kembali cerah.

Pemimpinnya, Sunarni, perempuan berkarakter lugas, mengenang awal mula kelompok itu berdiri. 

“Dulu saya ikut kegiatannya bapak-bapak, bantu-bantu ngolah bibit mangrove. Terus ada orang dinas datang, bilang kenapa enggak dibikin kelompok ibu-ibu saja. Ya sudah, kami setuju,” tuturnya, Senin (17/11/2025).

Baca juga: 92 Dapur Program Makan Bergizi Gratis di Kebumen Sudah Kantongi SLHS

Baca juga: Driver Bajaj Online Semarang Tetap Melaju, Purwadi Tunjukkan Sisi Positif Transportasi Roda Tiga

Tanggal yang ia ingat 9 Mei 2016 menjadi titik mula kelompok kecil yang kini punya 17 anggota dengan tugas masing-masing. 

Ada yang bagian produksi, ada yang mengurus pesanan, ada yang siap turun kalau ada acara-acara di kampung.

Kegiatan mereka tidak sekadar menanam. Ibu-ibu ini justru menghidupkan mangrove dari dapur kecil masing-masing. 

Mereka mengolah daun dan buahnya jadi makanan ringan keripik mangrove, bercita rasa sepet-pahit, mirip peyek bayam tapi dengan karakter pesisir yang kuat.

Tapi prosesnya bukan seperti bikin camilan biasa. Buah mangrove harus direndam sampai tiga hari, direbus, dicuci, dan diproses dengan arang untuk menghilangkan rasa pahit dan racunnya. 

“Enggak bisa langsung dibuat. Perendamannya lama,” ujar Sunarni. 

Setelah itu baru diblender jadi tepung, bahan baku brownies yang rasanya seperti brownies coklat pada umumnya, hanya saja tepungnya dari mangrove.

Daunnya lebih mudah. Tinggal dicuci, dikukus, dimasukkan adonan berbumbu bawang putih, ketumbar, kemiri, daun jeruk, kunyit, kencur, santan, telur dan terigu lalu digoreng.

Dulu hasilnya masih berminyak. Namun bertahun-tahun jatuh bangun, plus bantuan mahasiswa pendamping yang mengenalkan spinner, membuat keripik mereka kini lebih kering dan renyah.

Proses belajar itu tidak sebentar. 

“Setahun dua tahun baru bisa. Yang sulit itu ngilangke minyaknya,” tambahnya. 

Sumber: Tribun Jateng
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved