Berita Tegal
Unggul Nilai Perlu Ada Rasionalisasi Tunjangan Perumahan Anggota DPRD Tegal, Brebes, Slawi, Pemalang
Tingginya angka tunjangan perumahan bagi anggota DPRD kabupaten/kota itu menjadi kesenjangan di tengah kondisi ekonomi masyarakat.
Penulis: Fajar Bahruddin Achmad | Editor: M Syofri Kurniawan
TRIBUNJATENG.COM, TEGAL - Besaran kenaikan tunjangan perumahan anggota DPRD di empat wilayah Pantura Jawa Tengah bagian barat, tak kalah menarik perhatian publik dari besarnya tunjangan anggota DPR RI. Paling tinggi untuk jabatan ketua DPRD.
Ketua DPRD Kota Tegal sebesar Rp 49,9 juta per bulan, Ketua DPRD Kabupaten Tegal sebesar Rp 41 juta per bulan, Ketua DPRD Kabupaten Brebes sebesar Rp 34,9 juta per bulan, sedangkan Ketua DPRD Kabupaten Pemalang tidak mendapatkan tunjangan karena ada rumah dinas.
Tingginya angka tunjangan perumahan bagi anggota DPRD kabupaten/kota itu menjadi kesenjangan di tengah kondisi ekonomi masyarakat. Tunjangan melambung tinggi sedangkan angka Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) masih berkisar Rp 2.2 juta- Rp 2.3 juta.
Baca juga: IPHI Kota Tegal Inisiasi Penerjemahan Al-Qur’an ke Bahasa Tegal
Maka perlu ada rasionalisasi antara tunjangan perumahan, kondisi ekonomi masyarakat, harga sewa rumah di daerah dan kinerja anggota DPRD.
Hal itu disampaikan oleh Pengamat Politik Universitas Pancasakti (UPS) Tegal, Unggul Sugi Harto dalam wawancara khusus dengan wartawan Tribun Jateng, Fajar Bahruddin Achmad di Kampus UPS Tegal, Senin (15/9/2025).
Berikut kutipan wawancaranya:
Bagaimana Bapak melihat aksi demonstrasi beberapa minggu terakhir ini?
Sebagai negara yang menganut demokrasi, tentu saja demonstrasi yang merupakan wujud pernyataan sikap dan pendapat itu harus dilindungi. Adanya demonstrasi menunjukkan bahwa aspirasi itu harus tersampaikan kepada pemerintah, itu hal yang wajar.
Tetapi melihat demonstrasi kemarin, menunjukkan ada satu hal yang urgent perlu didengar dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah. Kemarin masyarakat secara umum, mahasiswa, beberapa kelompok buruh dan seluruhnya menunjukkan bahwa pemerintah harus serius mendengarkan aspirasi.
Kenapa? Karena ada masalah-masalah, baik itu kesenjangan ataupun ketidakpekaan pejabat yang juga harus diantisipasi oleh pemerintah.
Kepada siapa aksi demonstrasi kemarin tertuju?
Karena kita mempunyai trias politica, yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Saya melihat, secara umum ketiganya menjadi tujuan demonstrasi, khususnya menuntut tentang kesenjangan, gaji, tunjangan dan sebagainya. Itu dilihat oleh masyarakat.
Kemudian kebiasaan flexing pejabat itu juga dilihat masyarakat di tengah situasi yang secara ekonomi sedang sulit.
Hal ini berkaitan dengan etika politik ketika menjabat, maka harus peka dengan kondisi yang sedang serba sulit. Ketika pejabat mendapatkan privilege, maka tidak perlu menunjukkan itu.
Bagaimana Bapak melihat tunjangan perumahan anggota legislatif yang menjadi pemicu demonstrasi?
Konsep tunjangan itu kan sebenarnya sudah cukup lama. Bukan hanya DPR RI, tetapi juga di daerah ada untuk DPRD provinsi dan kabupaten/kota.
Saya sebenarnya tidak anti tunjangan, tetapi selama itu rasional dan menunjukkan kinerja anggota legislatif, itu tidak masalah.
Tetapi adanya aksi demonstrasi masyarakat kemarin menunjukkan bahwa tunjangan itu dianggap belum sepadan dengan kinerja para anggota legislatif. Sehingga masyarakat kemudian turun ke jalan dan mengharapkan serta menuntut tunjangan itu dihapus.
Hal itu wujud adanya kesenjangan antara kinerja pejabat dengan apa yang didapatkan masyarakat. Sehingga masyarakat protes, ini belum cocok dan belum pas dengan apa yang mereka (red, pejabat) lakukan terhadap masyarakat.
Kenaikan tunjangan berlangsung di tengah ekonomi dan pajak yang juga naik, bagaimana pandangan Bapak?
Tentu saja, solusi atas kondisi ekonomi ya harus ada upaya mengatasinya melalui kebijakan. Banyak terjadi di tengah masyarakat pajak yang naik dan susahnya lapangan pekerjaan, itu kan sesuatu yang riil. Sehingga tidak hanya tentang angka-angka, tetapi itu yang dirasakan masyarakat.
Maka perlu kajian serius, misalnya mengurangi pajak dan mengalihkan anggaran kepada sektor prioritas yang tujuannya untuk mengurangi tekanan ekonomi kepada masyarakat. Saya pikir pemerintah dan negara mempunyai instrumen-instrumen itu. Tinggal kecepatannya untuk tanggap dan mengeksekusinya.
Bagaimana pandangan Bapak tentang kenaikan tunjangan rumah anggota DPRD di Tegal, Brebes, Slawi dan Pemalang?
Pada prinsipnya, tunjangan itu bukan suatu hal yang baru. Hanya masalahnya itu rasional dan sesuai dengan kinerja tidak.
Saya mencatat dari empat wilayah, meliputi Kota Tegal, Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes dan Kabupaten Pemalang. Tunjangan perumahan yang tertinggi dari empat daerah itu justru di Kota Tegal. Berdasarkan Peraturan Wali Kota Tegal Nomor 9 Tahun 2025, ini untuk ketua sebesar Rp 49,9 juta.
Angka tersebut cukup besar. Jika dihitung dengan UMK, tunjangan itu besarannya 21 kali lipat dari UMK. Tentu saja itu perlu kajian lagi, apakah dibutuhkan atau tidak.
Tetapi yang menarik adalah di Kabupaten Pemalang, di sana ketua DPRD tidak mendapatkan tunjangan perumahan karena sudah ada rumah dinas. Tentu saja itu yang terendah di empat daerah Pantura karena tidak mendapatkan tunjangan perumahan.
Sepertinya Gubernur Jawa Tengah sudah mengarahkan pada pemerintah kabupaten/kota untuk meninjau kembali tunjangan yang ada di wilayah Jawa Tengah. Ini suatu hal yang bagus, artinya pemerintah provinsi dan beberapa daerah seperti Kabupaten Pemalang sudah mengevaluasi mengenai tunjangan.
Hal ini termasuk wujud mereka cukup tanggap dengan masyarakat. Harapannya, kemudian jangan jadi alasan ketika tunjangan dicabut kinerjanya semakin menurun.
Justru ini menjadi koreksi bersama, sebenarnya pejabat itu di era disruption selalu dalam pantauan masyarakat, apalagi kekuatan media sosial.
Hakikatnya, kalau pejabat ingin responsif maka punya media sosial. Ini nampaknya yang belum dimiliki oleh beberapa pejabat. Kalau pun punya yang pegang admin, ini perlu menjadi perhatian.
Tunjangan tinggi itu perlu diturunkan tidak?
Kalau saya istilahnya bukan diturunkan, tetapi dirasionalisasikan. Misalkan di Kota Tegal, standar kontrak rumah per tahunnya Rp 25 juta sudah cukup bagus, tetapi kalau tunjangan per bulannya sampai Rp 49 juta ya tidak rasional.
Jadi dirasionalkan saja. Jangan sampai ini kemudian menjadi suatu hal yang eksklusif dan privilege, maka tidak sesuai dengan kondisi di lapangan.
Apa solusi dari Bapak atas gejolak yang terjadi di Indonesia?
Pemerintah baik pusat maupun di daerah, meliputi eksekutif, legislatif dan yudikatif, harus lebih peka terhadap tuntutan masyarakat, dan harus lebih dekat. Apalagi di era sekarang semua bisa dilacak dan dilihat oleh masyarakat dengan media sosial.
Jadi era sekarang, di mana era pejabat itu hidup dalam ruang kaca yang dilihat oleh rakyat. Ini bukan hanya sekadar penggajian saja, tetapi juga etika politik dan moral.
Ketika kondisinya susah dan harus ada tunjangan, maka harus rasional menyesuaikan kondisi masyarakat. Artinya kalau rakyatnya susah ya tidak pantas kemudian pejabatnya hidup bermewah-mewahan. (fba)
Baca juga: Pesan Dedy Yon untuk Duta Genre Kota Tegal: Jangan Terburu-buru Menikah
Pesan Dedy Yon untuk Duta Genre Kota Tegal: Jangan Terburu-buru Menikah |
![]() |
---|
IPHI Gandeng Budayawan Hingga Tokoh Agama Terjemahkan Alquran ke Bahasa Tegal |
![]() |
---|
Pemkab Tegal Gelar Sosialisasi Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil bagi Petugas |
![]() |
---|
Wawali Tegal Mbak Iin Ajak Ibu-ibu Pipas Cegah Pernikahan Anak |
![]() |
---|
100 Mahasiswa Sadesa Ikuti PKKMB STIKIP NU Tegal, Bupati: Semoga Bisa Ikut Berkiprah Majukan Daerah |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.