SYAWALAN 2016
Kaitan Parade Sewu Kupat dan Tembang Sinom Parijoto Ciptaan Sunan Muria
Kaitan Parade Sewu Kupat dan Tembang Sinom Parijoto Ciptaan Sunan Muria
Penulis: yayan isro roziki | Editor: iswidodo
Laporan Tribun Jateng, Yayan Isro Roziki
TRIBUNJATENG.COM, KUDUS- Nafas Syifa Auliatul Husna dan seorang temannya, Diyah Rahmawati, masih ngos-ngosan usai berebut gunungan di Tamanria Colo, turut Desa Colo, Kecamatan Dawe, Rabu (13/7). Keduanya, bersama ribuan masyarakat lain, ikut memperebutkan 26 gunungan kupat dan lepet, serta berbagai hasil bumi dalam tradisi Parade Sewu Kupat.
"Tadi ikut berebut dan berdesak-desakan, selain kupat, ini kami dapat pisang dan juga parijoto, yang merupakan tanaman khas Colo," kata Syifa, yang merupakan warga Kecamatan Dawe tersebut.
Diyah menambahkan, ia tiap tahun menyempatkan diri mengikuti tradisi Parade Sewu Kupat, yang rutin digelar sepekan setelah Hari Raya Idul Fitri itu. Disamping turut nguri-nguri budaya, ia meyakini gunungan yang diperebutkan mengandung berkah tersendiri.
"Ini kan sudah didoakan oleh para ulama dan kiai di Makam Sunan Muria. Kami yakin kupat, lepet, dan hasil bumi yang telah didoakan itu barokah," ucap gadis berjilbab itu.
Pantauan Tribun Jateng, sejak pagi hari sekitar pukul 07.00, masyarakat sudah mulai berduyun-duyun mendatangi lokasi. Tak hanya masyarakat sekitar Kudus, beberapa di antaranya berasal dari wilayah sekitar.
Subkhan, misalnya. Warga Desa/Kecamatan Nalumsari, Kabupaten Jepara itu, selalu menyempatkan diri mengikuti Parade Sewu Kupat, sebelum kembali bekerja di Ibu Kota. "Kami baru akan kembali ke Jakarta tiap usai perayaan Sewu Kupat ini, sekalian ziarah ke Makam Sunan Muria," kata dian didampingi istri dan dua anaknya.
26 gunungan yang diperebutkan, sebelumnya didoakan terlebih dahulu di komplek Makam Sunan Muria. Selanjutnya, gunungan diarak dalam kirab menuju Tamanria Colo, yang tepat berada di bawah komplek makam, yang berada di puncak Gunung Muria itu.
Diiringi tembang Sinom Parijoto, karya Kanjeng Sunan Muria, satu per satu gunungan diarak ke area Tamanria Colo. Gunungan kemudian didoakan lagi sebelum diperebutkan. Tradisi rebutan diawali pemotongan ketupat raksasa oleh Bupati Kudus, Musthofa, dan jajaran forum komunikasi pimpinan daerah (Forkopimda) yang turut hadir di lokasi.
Bupati Musthofa, mengatakan tradisi Parade Sewu Kupat adalah sebagai bentuk rasa syukur masyarakat kepada Tuhan Yang Maha Esa. Menurut dia, tradisi kupatan sudah ada sejak zaman para Wali Songo. Hanya, tradisi tersebut kemudian dikembangkan menjadi Parade Sewu Kupat, dan dikelola Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kudus sejak 10 tahun lalu. "Kegiatan ini perlu terus dikelola sebagai sebuah potensi wisata. Siapa pun bupatinya, tradisi budaya yang memiliki nilai kearifan lokal ini tidak boleh hilang," katanya. (*)