Kreatif, Mainan Tradisional Ini Dimanfaatkan Petani Banjarnegara untuk Usir Hama Tikus
"Paling tidak anak-anak itu suka kembali dengan dolanan tradisional. Ini untuk mengalihkan mereka dari pengaruh buruk game kekinian,"katanya
Penulis: khoirul muzaki | Editor: bakti buwono budiasto
Laporan Wartawan Tribun Jateng Khoirul Muzakki
TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA - Siang, (2/10/2017), Areal persawahan di tepi desa Pagak, Klampok lengang.
Para petani sudah meninggalkan sawah mereka dan beristirahat di rumah.
Meski sepi orang, sawah itu tetap ramai karena bunyian.
Suara ketukan kaleng terdengar cukup nyaring bersamaan dengan tiupan angin kencang di persawahan.
Semakin kencang angin berhembus, puluhan kincir angin atau kitiran bambu yang berdiri di sudut sawah itu berputar kian cepat.
Baca: Gojek Bakal Ekspansi ke Empat Negara
Kaleng yang terpasang di belakang baling-baling otomatis terketuk lebih keras mengikuti perputaran kitiran.

"Kalau anginnya semakin kencang, berputarnya kian cepat dan bunyi yang dihasilkan semakin keras,"kata pengrajin kincir angin asal desa Pagak Klampok Riyanto, Senin (2/10)
Gerakan baling-baling mengikuti arah angin serta bunyian yang dihasilkan ternyata menarik perhatian para bocah.
Saat siang atau sore hari selepas sekolah, sejumlah anak desa menyerbu sawah untuk melihat permainan tradisional itu sembari menerbangkan layang-layang.
Tawa riang mereka kadang kalah ramai dengan suara angin dan ketukan kaleng kitiran.
Menurut Riyanto, tradisi membuat kincir angin di desa Pagak telah berlangsung lama.
Baca: Cerita Prilly Latuconsina Tanggapi Hatersnya dengan Sikap Begini
Namun lambat laut permainan itu kian ditinggalkan karena tergerus roda zaman.
Anak-anak desa belakangan semakin tak mengenal permainan yang digali dari kearifan lokal desanya.
Ia bersama warga lain ingin membangkitkan kembali tradisi itu.
Nyatanya, permainan berbau modern kini justru lebih banyak berdampak buruk terhadap perkembangan mental anak.
Baca: Pria Ini Tiba-tiba Dipepet Lima Pria, Diacungi Celurit, Kemudian Ini yang Terjadi . . .
Akibatnya, mereka tercerabut dari kebudayaan asalnya.
"Paling tidak anak-anak itu suka kembali dengan dolanan tradisional. Ini untuk mengalihkan mereka dari pengaruh buruk game kekinian atau pergaulan bebas,"katanya
Selain areal persawahan, warga juga memasang kitiran yang ditegakkan dengan tiang kayu atau bambu di depan masing-masing rumah.

Kini, sekitar seribu kitiran bambu terpasang di areal persawahan warga maupun perkampungan.
Menurut Riyanto, tradisi memasang kitiran bagian dari pemanfaatan potensi lokal.
Di desanya, angin bertiup cukup kencang.
Bambu sebagai bahan utama pembuatan kitiran juga mudah ditemukan di desa sehingga tak perlu membeli.
Baca: Wah, 90 Persen Warga Katalan Pilih Merdeka, Begini Jalannya Referendum
Selain untuk menghibur anak anak, kitiran ternyata punya arti khusus bagi kehidupan petani di sawah.
Bagi petani, kitiran yang dipasang di setiap sudut sawah berfungsi untuk pengendali hama tikus yang ramah lingkungan.
Tikus-tikus yang berkeliaran di sawah dan menganggu tanaman petani dijamin tidak akan betah mendengar suara bising kaleng kitiran.
Kitiran itu seolah menggantikan peran petani yang tidak bisa 24 jam menjaga sawah mereka dari gangguan hama.
"Sebelumnya, kaleng ada yang dipasang di saluran irigasi. Kalau kena arus air, kaleng bisa bunyi dan tikus lari. Tapi kalau pas kemarau tidak bunyi karena tidak ada air.
Baca: Siap-siap! Mayoritas di Jateng Berpotensi Hujan Malam Ini
Nah, sekarang kaleng itu dipasang di kitiran, karena angin selalu ada tidak pandang musim, jadi kaleng bunyi terus,"katanya
Penggalakan pemasangan kitiran di sawah, menurut Riyanto, sekaligus menekan penggunaan pembasmi tikus berbahan kimia oleh petani yang cenderung merusak lingkungan.
Terbukti, pemakaian racun tikus berbahan kimia selama ini tidak memecahkan masalah.
Bak mati satu tumbuh tikus seribu.
Populasi tikus justru semakin meningkat dan mengganas.
"Kalau diracun pakai kimia justru tikusnya semakin mengamuk. Padi satu lahan bisa dihabiskan semua oleh tikus,"katanya
Pembuatan kincir angin ini cukup sederhana.
Bambu yang telah dipotong dibelah tipis dengan lebar sekitar 5 cm dan panjang 50 cm untuk baling-baling.
Baling-baling itu dilubangi tengahnya untuk memasukkan potongan bambu sebagai peyangga kitiran.
Baca: Bengkel Pembuat Becak Motor di Krobokan Digerebek Polisi, Ini yang Ditemukan
Rangkai dengan potongan bambu yang lubangnya lebih besar serta ujung daun kelapa sebagai pengatur angin.
Kincir itu bisa dimodifikasi dengan kaleng di punggungnya untuk menghasilkan bunyi otomatis saat baling-baling berputar.
"Untuk pembuatan sebuah kitiran hanya butuh waktu 2 jam. Tidak perlu biaya,"katanya
Kepala Dinas Pariwisata Banjarnegara Dwi Suryanto mengatakan, desa Pagak berpotensial dikembangkan menjadi desa wisata berbasis pertanian.

Salah satu objek yang bisa dijual adalah banyaknya kincir angin di kampung dan persawahan.
Keberadaan kitiran dan tradisi menerbangkan layang-layang itu bisa jadi ikon wisata dengan syarat didukung potensi lain di desa tersebut.
Pemkab memang mendorong tumbuhnya desa wisata baru untuk melengkapi objek wisata yang ada sebelumnya. Saat ini, kata dia, 15 desa telah ditetapkan jadi desa wisata serta 28 desa lainnya masih rintisan.
"Setiap desa wisata harus punya produk khas yang beda dengan desa wisata lain. Misal di sini dibentuk kampung kitiran, ini punya peluang karena di tempat wisata lain belum ada,"katanya. (*)