Kisah Dusun yang Lenyap Akibat Letusan Kawah Sileri Dieng, Kini Jadi Lahan Pertanian Subur
Membincang Dieng selalu dibumbui cerita manis soal keindahan alamnya yang banyak menjelma menjadi objek pariwisata andalan.
Penulis: khoirul muzaki | Editor: muh radlis
TRIBUNJATENG.COM, BANJARNEGARA - Membincang Dieng selalu dibumbui cerita manis soal keindahan alamnya yang banyak menjelma menjadi objek pariwisata andalan.
Tetapi siapa sangka, di balik kecantikannya, Dieng menyimpan banyak kisah kelam dalam perjalanan sejarahnya.
Jauh sebelum pariwisata berkembang, kawasan gunung aktif ini menjadi jujugan manusia untuk membangun peradaban.
Keberadaan banyak candi peninggalan umat Hindu membuktikan, peradaban sudah berkembang lama di daerah itu sejak berabad-abad silam.
Masyarakat membangun koloni hingga berkembang banyak desa di dataran tinggi Dieng.
Kesuburan tanah di wilayah vulkanik aktif ini membuatnya menjelma menjadi kawasan padat penduduk hingga sekarang.
Dieng menjanjikan kesejahteraan bagi masyarakat dengan anugerah alamnya.
Tetapi setimpal dengan itu, ancaman marabahaya tak kalah besar.
• Pria Bujang 38 Tahun Ini Rudapaksa 2 Anak Tetangganya, Diiming Imingi Main Game di Handphone
• Dikasih Kepercayaan, Guntur Malah Curi Uang Rp 12 Juta Lebih di ATM Milik Venia
Kawasan ini masih menyimpan banyak kawah aktif yang siap meletus kapan saja.
Ancaman itu bukan isapan jempol belaka.
Beberapa perkampungan yang dulu berada di sekitar kawah di Dieng kini terhapus dari peta administrasi pemerintah.
Hanya namanya yang belum terhapus dari memori anak turun korban yang selamat dari bencana letusan.
Hamparan kebun di sekitar kawah Sileri, Desa Kepakisan Kecamatan Batur tampak hijau menyegarkan mata.
Tetapi siapa yang menyangka, tanah itu menyimpan kisah sedih tentang sebuah kampung yang musnah.
Lahan pertanian itu dulunya adalah perkampungan dengan sistem kemasyarakatan yang sudah tertata.
Mereka hidup berdampingan dengan kawah Sileri yang saat itu hanya berupa lubang kecil serupa kolam.
Tak dinyana, dari lubang kecil yang mulanya tak begitu diperhitungkan itu, bencana dahsyat berawal.
Suatu hari, kawah Sileri tiba-tiba meletus dengan gemuruhnya yang hebat.
Kawah Sileri menunjukkan keperkasaannya.
Dalam diamnya selama ini, ia ternyata menyimpan energi besar yang mematikan.
Isi perutnya muntah ke udara.
Langit desa gelap mencekam.
Bebatuan dan material panas dari kawah menghujani Dusun Jawera beserta penduduknya.
Bencana yang tiba-tiba tak memberi kesempatan
penduduk untuk lari menyelamatkan diri.
Sarwo Edi, tokoh masyarakat Desa Kepakisan tak tahu detail gambaran mengerikan bencana yang sampai memusnahkan dusun itu.
Saat musibah terjadi, ayahnya baru berusia 18 tahun.
Dia sendiri belum lahir.
"Kalau dilihat wilayahnya, kalau sekarang masuk desa Kepakisan,"katanya
Material kawah mengubur dusun itu bersama para penghuninya.
Mereka yang selamat memutuskan hengkang dan meneruskan kehidupannya di dusun atau desa tetangga.
Erupsi telah meratakan pemukiman itu dengan timbunan materialnya.
Kiamat kecil telah mengakhiri riwayat dusun Jawera beserta penghuninya yang merana.
Setelah erupsi, luas Kawah Sileri berkembang.
Kini luas kawah itu sudah sekitar 1 hektar paska beberapa kali mengalami erupsi.
Usai memusnahkan dusun Jawera, kawah itu beberapa kali kembali menunjukkan keganasannya dengan erupsinya yang cukup besar.
• Emma Sebut Pasar Global Melihat Produk UMKM Pertama Kali dari Kemasan
• Ini Pekerjaan Rumah Pemkot Tegal Menurut Fraksi Pantura DPRD
Setelah tragedi tahun 1944, kawah itu tercatat kembali meletus pada tahun 1964, 1984, 2003, 2009, hingga terakhir Juli 2019 yang melukai sejumlah wisatawan.
Setengah abad lebih berlalu, jejak keberadaan dusun Jawera nyaris tak berbekas.
Pemukiman yang terkubur telah menjelma menjadi lahan pertanian yang subur.
Bekas pemukiman itu kini kembali diisi oleh manusia yang tiap hari sibuk mengolah lahan.
Para korban maupun saksi erupsi tahun 1944 sudah banyak yang meninggal atau rapuh termakan usia, tetapi kawah Sileri masih menunjukkan keaktifannya.
Di sekitarnya berkembang desa-desa yang kian padat penduduknya.
Lahan sekitar bibir kawah bahkan dimanfaatkan para petani untuk mengembangkan usaha pertaniannya.
Edi mengatakan, masyarakat sekitar tentu menyadari hidup di atas kawah aktif gunung api Dieng.
Mereka tahu ancaman bencana terus mengintai.
Karenanya, masyarakat lebih sadar untuk menjaga lingkungan sebagai upaya mengurangi risiko bencana.
Mereka mulai menggalakkan penanaman pohon yang mampu menyimpam air.
Dengan bantuan alat canggih dari PVMBG, masyarakat bisa lebih siap dalam mengantisipasi potensi bencana yang ada.
"Juga berharap agar senantiasa dilindungi oleh Allah,"katanya. (Aqy)