Ini Perbedaan Demo Mahasiwa 1998 dengan 24 September 2019 Menurut Usman Hamid
Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid membandingkan gerakan tahun 1998 dengan gerakan mahasiswa 24 September 2019.
Penulis: Ardianti WS | Editor: abduh imanulhaq
TRIBUNJATENG.COM- Direktur Amnesty International Indonesia Usman Hamid membandingkan gerakan tahun 1998 dengan gerakan mahasiswa 24 September 2019.
Hal itu diungkapkannya di acara CNN Indonesia dengan tema Titidk Nadir Indonesia yang tayang JUmat (27/9/19).
Menurutnya, aksi demo mahasiswa tanggal 24 September 2019 merupakan aksi terbesar selama 20 tahun terakhir.
"Ini merupakan gerakan mahasiswa terbesar di 20 tahun terakhir, dan cukup bersejarah," ujarnya.
Usman Hamid lantas mengatakan bahwa aksi demo kemarin lebih independen dibandingkan tahun 1998.
"Saya kira perbedaannya kalau kita bandingkan dengan tahun 1998, mereka bener-bener independen merdeka dan jauh dari komponen politik yang lain," ujarnya.
Aksi demo mahasiswa kemarin tidak ditunggangi siapapun karena seluruh partai politik pro dengan pemerintah.
"Misalmnya saya katakan mereka ditungganggi kepentingan politik, kepentingan politik siapa, kepentingan politik yang mana
Semua partai politik mengekor pemerintah, tidak ada partai politik yang menjadi oposisi di pemerintah," ujarnya.
Menurutnya, saat ini tidak ada partai oposisi yang ingin menjatuhkan pemerintah.
"Tidak ada partai politik yang oposisi ingin menjatuhkan pemerintah," ujarnya.
Menurutnya, situasi panas politik pasca pemilu baik Pilpres dan Pilgub DKI Jakarta sudah meredam
"Di pemilu 2014, pemilu DKI Jakarta 2016 yang membelah masyarakat berujung anti klimaks dengan rekonsiliasi Jokowi-Prabowo, PDIP-gerindra dari partai politik lainnya," ujarnya.
menurutnya, hal itu yang menjadikan dasar perbedaan demo 1998 dengan gerakan mahasiswa tanggal 24 September 2019.
Ia lantas menjelaskan bahwa aksi demo 1998 saat itu partai PDIP dan PPP merasa dicurangi sehingga ikut menopang gerakan mahasiswa 1998.
Semntara aksi demo 24 September 2019 tidak ada partai yang merasa dirugikan oleh pemerintaha Jokowi.
"Demo 98 bukannya ditunggai namun, saat itu partai PDIP dan PPP merasa dirugikan oleh kepentingan kekuasaan orde baru sehingga ikut menompang gerakan mahasiswa begitu juga kalangan organisasi non pemerintah," ujanya.
Menurutnya, gerakan mahasiswa tanggal 24 September 2019 merupakan gerakan yang berdiri sendiri.
"Nah aksi ini mahasiswa berdiri sendiri meskipun berkolaborasi dengan sarjana untuk merumuskan masalah apa yang akan diangkat, tidak hanya UU KPK, tapi juga insiden rasisme di Papua, menolak menguatkan kepolisian di kancah politik atau yang disebut dwi fungsi polri, UU KUHP, pertanahan, UU mineral dan batubara," ujarnya.
Usman Hamid menjelaskan bahwa Undang-undang di atas menurut mahasiswa menguntungkan oligarki dari pedagang kaya yang menguasai partai dan birokrasi pemerintah.
Usman Hamdi menegaskan bahwa aksi mahasiswa kemarin merupakan akumulasi persoalan 20 tahun terakhir dan tidak hadirnya keadilan dari negara.
"Akumulasi dari persolan 20 tahun terakhir, mereka mempertanyakan legitimasi negara, legitimasi negara akan hadir jika ada keadilan, tidak ada keadilan, sebut saja kasus apa, kasus Munir tidak diselesaikan, kasus Novel Baswedan tidak diselesaikan," ujarnya.
Usman Hamid lantas kecewa dengan isu-isu yang menjelekkan aksi mahasiswa.
bahkan ia menyebut bahwa pemerintah lebih sibuk mencari kambing hitam dibandingkan mencari solusi.
"Menyebut ini sebagai tuntutan kotor bahwa di KPK ada taliban, bahwa di bawah gerakan mahassiswa dan kelompok islamis, di bawah gerakan Papua ada Benny Wenda, jadi lebih sibuk mencari kambing hitam daripada menyelesaikan persoalan ini," ujarnya.
• Lirik Lagu Man Ana Sabyan Gambus Lengkap dengan Artinya
• Bukannya Membangunkan Rekannya yang Tertidur Pulas di Alun-alun Purworejo, Budi Malah Curi 2 HP
• Chord Kunci Gitar Lagu Cinta Beda Agama Vicky Salamor
Diketahui, Selasa 24 September 2019 ribuan mahasiswa di sejumlah daerah menggelar aksi demonstrasi.
Mereka menuntut beberapa hal.
1. UU KPK
Mendesak pemerintah dan DPR untuk merivisi UU KPK yang baru saja disahkan dan menolak segala bentuk pelemahan terhadap upaya pemberantasan korupsi di Indonesia.
Ada tujuh poin yang menjadi catatan dalam RUU KPK yang sudah diketok palu oleh anggota Dewan. Pertama, soal status kedudukan kelembagaan KPK yang akan berubah menjadi lembaga penegak hukum yang berada di rumpun eksekutif, tetapi tetap melaksanakan tugas dan kewenangan secara independen.
Kedua, soal keberadaan Dewan Pengawas KPK yang punya kewenangan melaksanakan tugas dan wewenang KPK, memberi/tidak memberi izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan, menyusun dan menetapkan kode etik pimpinan dan pegawai, memeriksa dugaan pelanggaran kode etik, mengevaluasi kinerja pimpinan dan pegawai KPK setahun sekali.
Keberadaan dewan pengawas ini dinilai berpotensi mengganggu penanganan perkara karena dugaan konflik kepentingan.
Ketiga, pembatasan fungsi penyadapan karena KPK wajib meminta izin tertulis dari dewan pengawas sebelum menyadap.
Dalam aturan sebelumnya KPK berwenang sendiri melakukan penyadapan tanpa perlu meminta izin.
Keempat, KPK berwenang menerbitkan SP3 untuk perkara korupsi yang tidak selesai dalam jangka waktu maksimal dua tahun.
Kemudian, KPK juga wajib berkoordinasi dengan penegak hukum lain dalam hal pelaksanaan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Pasal kontroversi lain ialah mengatur soal mekanisme penyitaan dan penggeledahan serta status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara.
Namun, Jokowi memastikan tak akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk mencabut UU KPK.
2. RKUHP
Mendesak adanya penundaan untuk melakukan pembahasan ulang terhadap pasal-pasal yang bermasalah dalam RKUHP.
Pembahasan RKUHP menuai polemik lantaran beberapa pasalnya dianggap represif dan tidak pro dengan hak asasi manusia.
Sebagai contoh, ada pasal-pasal yang dianggap mengekang kebebasan berpendapat dan kebebasan pers.
Jika RUU KUHP disahkan, netizen dan wartawan yang dianggap beritanya menghina presiden atau pemerintah akan dipidana.
Contoh lain adalah Pasal 432 tentang penggelandangan.
Di aturan tersebut disebutkan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I.
Pasal tersebut berpotensi menjadi pasal karet karena kategori penggelandang bisa dienterpretasikan luas.
Ketentuan lain yang diprotes adalah pasal zina. Sebab, pasal ini dianggal terlalu mengatur warga negara hingga ke ranah privasi.
Namun, Presiden Joko Widodo memutuskan untuk menunda pengesahan RUU KUHP.
3. RUU Ketenagakerjaan
Menolak pasal-pasal bermasalah dalam RUU Ketenagakerjaan yang tidak berpihak kepada pekerja. RUU Ketenagakerjaan juga menjadi sorotan lantaran beredar luas draf revisi UU tersebut.
Dari draf yang beredar, ada 14 pasal revisi yang ditolak oleh para asosiasi buruh. Dalam naskah yang beredar tersebut, beberapa revisi yang bakal dilakukan meliputi pasal 81 mengenai cuti haid yang bakal dihapus lantaran dengan alasan nyeri haid dapat diatasi dengan obat antinyeri.
Kemudian, Pasal 100 mengenai fasilitas kesehatan yang bakal dihapuskan, juga pasal 151-155 mengenai penetapan PHK.
Dalam draf tersebut, UU Ketenagakerjaan versi revisi bakal menetapkan keputusan PHK hanya melaui buruh dan pengusaha tanpa melalui persidangan.
Selain itu, ada pula revisi yang bakal menghapus pasal mengenai uang penghargaan masa kerja, juga ada penambahan waktu kerja bagi para buruh atau tenaga kerja.
Namun, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri membantah draf tersebut bersumber dari pemerintah.
Ia mengatakan, draf yang berisi revisi UU Ketenagakerjaan tersebut hoaks dan tidak jelas sumbernya.
4.RUU Pertanahan
Menolak pasal-pasal problematis dalam RUU Pertanahan yang merupakan bentuk pengkhianatan terhadap semangat reforma agraria.
Poin-poin dalam RUU Pertanahan dianggap merugikan masyarakat.
Pembahasannya pun molor di DPR karena masih ada pro-kontra di internal.
Fraksi PKS menganggap draf tersebut lebih menitikberatkan pada upaya peningkatan iklim investasi dibandingkan pada aspek pemerataan ekonomi dan keadilan agraria.
Dalam poin-poin tersebut tidak ada upaya konkret untuk mengatasi ketimpangan penguasaan tanah.
Kemudian ada kecenderungan memberikan banyak kemudahan investasi bagi pemegang HGU, HGB, dan hak pakai berjangka waktu.
Selanjutnya, tidak ada upaya untuk memprioritaskan pemberian hak pakai kepada koperasi buruh tani, nelayan, UMKM, dan masyarakat kecil lain.
Dalam draf tersebut juga tidak terdapat upaya konkret untuk meningkatkan nilai ekonomi lahan warga yang telah disertifikasi melalui program pemerintah.
Keenam, tidak ada upaya konkret untuk mempercepat pengakuan tanah hukum ada yang menjadi amanat Putusan MK Nomor 35/2012.
Selanjutnya, terhapusnya status tanah hak bekas swapraja, yang ke depan akan kembali menjadi tanah negara.
Terakhir, tidak ada kebijakan untuk memberantas mafia tanah dan mengendalikan nilai tanah.
Dalam konferensi pers, Jokowi menyatakan bahwa RUU ini ditunda.
5. RUU PKS
DPR diminta segera memberi kepastian kapan RUU PKS disahkan.
Pasalnya, RUU ini sudah dibahas cukup lama, terhitung sejak 2017.
Desakan muncul dari berbagai kalangan, mulai dari akademisi, aktivis perempuan, Komnas Perempuan, hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPPA) Yohana Yambise.
RUU PKS dianggap krusial karena perlu ada payung hukum yang kuat untuk melindungi korban kekerasan seksual.
RUU ini akan memperkuat regulasi soal kekerasan seksual yang diatur dalam KUHP secara umum.
RUU PKS menjadi darurat bukan karena sekadar angka kasus yang tercatat, melainkan karena layanan terhadap korban kekerasan seksual tidak memadai.
6. Mendorong demokratisasi di Indonesia dan menghentikan penangkapan aktivis di berbagai sektor.
Penangkapan aktivis juga menjadi perhatian selanjutnya oleh mahasiswa.
Mereka tak ingin aktivis yang mewakili masyarakat ditangkap karena menyuarakan protes hanya karena tak sesuai dengan kebijakan pemerintah.
Contoh terbaru ialah penangkapan aktivis Veronica Koman yang menjadi buronan polisi setelah ditetapkan tersangka.
Veronica Koman dianggap memprovokasi aksi demo di Asrama Mahasiswa Papua di Surabaya.
Pengacara mahasiswa Papua itu disebut sangat aktif melakukan provokasi di media sosial tentang isu-isu Papua, padahal ia sendiri tidak ada di lokasi saat aksi berlangsung.
7. Kerusakan lingkungan
Menuntut negara untuk mengusut dan mengadili elite-elite yang bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan di beberapa wilayah di Indonesia.
Masalah kebakaran hutan belakangan disorot karena area titik apinya terus meluas.
Kebakaran tersebar di sebagian Sumatera dan kalimantan.
Kepolisian telah menetapkan puluhan tersangka pembakaran hutan dan sembilan korporasi yang bertanggung jawab.
Masyarakat menuntut para pelaku diadili hingga menyasar ke aktor intelektual.
Proses hukum juga harus dilakukan secara terbuka. (*)
• Cinta Segitiga di Blora, Sepulang dari Warung Kopi, Sukardi Curiga saat Tak Mendapati Istri di Kamar
• Chord Kunci Gitar kartonyono Medot Janji Denny Caknan
• Tersebar Foto dengan Tommy Soeharto, Najwa Shihab Klarifikasi Isu yang Menyeret Suami dan Ayahnya
• Ditahan KPK, Imam Nahrawi: Semoga Ini Murni Proses Hukum Bukan Bersifat Politis