Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Kabupaten Semarang

Kasus SP Pemilik Pesantren Nikahi Bocah 7 Tahun, Adakah Kekerasan Seksual? Ini Hasil Visumnya

Dari informasi terungkap bahwa SP dengan perempuan belia itu menikah secara siri di Kabupaten Magelang pada tahun 2016 silam

Penulis: Akhtur Gumilang | Editor: muslimah
ISTIMEWA
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Iskandar Fitriana. 

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Polda Jateng sebut ada enam saksi yang diperiksa terkait laporan dugaan pernikahan dini seorang pemilik pesantren berinisial SP di Kabupaten Semarang dengan anak perempuan berusia 7 tahun di Kabupaten Magelang.

Laporan itu masuk ke Polda Jateng pada 21 Februari 2020 lalu.

SP dilaporkan oleh Komnas Perlindungan Anak (KPA) Provinsi Jateng.

Paru-paru Jadi Incaran Virus Corona, Konsumsi 5 Makanan Ini untuk Menjaga Kesehatannya

WHO Sebut Virus Corona di Asia Baru Permulaan: Ini Akan Jadi Pertempuran Jangka Panjang

Setelah Amerika Babak Belur, Donald Trump Bicara Berbeda Soal Virus Corona : Itu Ganas

Panji Petualang Kembali ke Hutan untuk Monitoring Garaga, Seorang Kru Digigit Ular Kobra

Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Iskandar Fitriana Sutisna menuturkan, sejauh ini pihaknya telah memeriksa sejumlah saksi dan melakukan visum terhadap perempuan yang dinikahi SP.

Pemeriksaan visum dilakukan untuk mengetahui apakah bocah perempuan berusia 7 tahun itu mengalami kekerasan seksual.

Kabid menambahkan, laporan ini tengah ditangani oleh para penyidik dari Ditreskrimum Polda Jateng.

"Ada enam saksi yang kita periksa. Mereka semua memberi keterangan sangat minim.

Untuk hasil visum sudah keluar.

Hasilnya tidak ada tanda kekerasan pada selaput darah perempuan itu," kata Kombes Pol Iskandar saat dikontak Tribun Jateng, Rabu (1/4/2020).

Dalam laporan ini, Polda Jateng turut melibatkan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Berencana (DP2AKB) Jawa Tengah.

Dari informasi terungkap bahwa SP dengan perempuan belia itu menikah secara siri di Kabupaten Magelang pada tahun 2016 silam.

Kini, perempuan tersebut telah menginjak umur 11 tahun.

"Kami sudah datangi anak tersebut beserta keluargannya.

Anak itu memang benar sudah nikah siri empat tahun lalu.

Tapi tinggal beda tempat.

Anak ini tidak ikut tinggal serumah bersama SP," ujar Kabid Pemenuhan Hak dan Perlindungan Anak DP2AKB Jateng, Saptiwi Mumpuni, terpisah.

Dia menerangkan, dalam pantauan pihaknya, aktivitas anak tersebut berjalan seperti anak-anak pada umumnya.

Anak tersebut tetap sekolah diantar-jemput oleh orangtuanya.

Kemudian, Saptiwi mengungkapkan untuk menindaklanjuti aduan Komnas Perlindungan Anak, pihaknya sudah memeriksa beberapa saksi dilapangan.

"Namun dalam prosesnya, kita kesulitan untuk mencari bukti.

Maka, kita koordinasi dengan Polda Jateng. Namanya siri hanya dihadiri beberapa orang, ini yang kami akan kejar," jelasnya.

Terkait hasil pemeriksaan kepada SP yang tinggal di desa Bedono, Kabupaten Semarang, Saptiwi mengaku tidak bisa menjelaskannya lebih detail.

"Namun, anak tersebut tetap kita pantau sampai saat ini. Pemantauan yang dilakukan bertujuan meminimalisir keduannya bertemu.

Jadi, harus dalam pengawasan ketat," pungkas Saptiwi.

Temuan KPAI Jateng

Sebelumnya, kasus ini mencuat setelah Komnas Perlindungan Anak (KPA) Provinsi Jawa Tengah, temukan gadis berusia 7 tahun asal Grabag, Magelang, dinikahi warga Kabupaten Semarang pengasuh sebuah pondok pesantren.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Jateng, Endar Susilo, mengatakan dari informasi yang pihaknya dapatkan, pernikahan itu terjadi pada 2017 lalu.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Jawa Tengah Endar Susilo
Ketua Komnas Perlindungan Anak Jawa Tengah Endar Susilo (KOMPAS.com/IST)

Dari informasi yang diterima, ia mengatakan, sejak awal keduanya tak tinggal serumah.

"Kami mendapatkan informasi tersebut.

Akhirnya 21 Februari 2020 kemarin melaporkan hal tersebut ke Polda Jateng," jelas Endar, Jumat (13/3/2020).

Ia menuturkan belum  dapat membuka identitas orang yang melakukan pernikahan secara siri tersebut.

Namun, sang perempuan saat ini berstatus pelajar di Magelang.

Meski begitu pihaknya tetap menegakkan azas praduga tak bersalah.

Ia mengaku Komnas Perlindungan Anak Jateng sudah dua kali mengunjungi rumah korban.

Namun dalam dua kali kunjungan di Grabag, Magelang, mereka hanya bertemu orangtua korban.

"Kami mengecek dan bertemu orangtua saja.

Karena anaknya berada di dalam rumah, tidak mau keluar," jelasnya.

Meski begitu menurut Endar, hal tersebut dapat mengubah mental si anak menjadi lebih tertutup.

Hal itu dianggapnya merugikan karena perempuan itu dianggap masih memiliki masa depan yang panjang.

"Kami takutkan hal itu membuat si perempuan menjadi tak mau bersosialisasi dengan orang lain," papar dia.

Endar ingin agar kepolisian dapat bekerja semaksimal mungkin mengungkap kasus tersebut.

Ia menilai pelaku kejahatan terhadap anak dapat dijerat UU No 23/2002 yang diperbarui UU No 35/2014 tentang Perlindungan Anak.

"Kami ingin pelaku pernikahan anak di bawah umur itu bisa mendapat hukuman yang setimpal," jelasnya.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2017, angka perkawinan anak di atas 10 persen merata tersebar di seluruh provinsi Indonesia.

Sementara, sebaran angka perkawinan anak di atas 25 persen berada di 23 provinsi dari 34 provinsi di Indonesia.

Jika diakumulasi, 67 persen wilayah di Indonesia darurat perkawinan anak.

Mengacu pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 Ayat (1), anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Berdasarkan analisa data perkawinan usia anak di Indonesia hasil kerja sama BPS dan United Nations Children’s Fund (UNICEF), ada berbagai dampak negatif yang dapat terjadi pada sebuah pernikahan yang dilakukan pada usia anak.

Anak perempuan akan mengalami sejumlah hal dari pernikahan di usia dini.

Pertama, tercurinya hak seorang anak. Hak-hak itu antara lain hak pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan dan pelecehan, hak kesehatan, hak dilindungi dari eksploitasi, dan hak tidak dipisahkan dari orangtua.

Berkaitan dengan hilangnya hak kesehatan, seorang anak yang menikah di usia dini memiliki risiko kematian saat melahirkan yang lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah cukup umur.

Risiko ini bisa mencapai lima kali lipatnya.

Selanjutnya, seorang anak perempuan yang menikah akan mengalami sejumlah persoalan psikologis seperti cemas, depresi, bahkan keinginan untuk bunuh diri.

Di usia yang masih muda, anak-anak ini belum memiliki status dan kekuasaan di dalam masyarakat.

Mereka masih terkungkung untuk mengontrol diri sendiri.

Terakhir, pengetahuan seksualitas yang masih rendah meningkatkan risiko terkena penyakit infeksi menular seperti HIV. (Tribunjateng/gum).

Setelah Amerika Babak Belur, Donald Trump Bicara Berbeda Soal Virus Corona : Itu Ganas

Paru-paru Jadi Incaran Virus Corona, Konsumsi 5 Makanan Ini untuk Menjaga Kesehatannya

Di Tengah Wabah Corona, 7 Pasangan Nekat Berduaan di Kamar Kos, Satpol PP: Entah Apa yang Dipikirkan

Pertanyaan Terbesar Saat Ini, Kapan Pandemi Corona di Indonesia Berakhir ? Ini Jawaban Ahli

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved