Human Interest
Semangat Mbah Slamet Semarang Jualan Sabun Cuci Sambil Momong Cucu, Kaki Pincang Tak Jadi Soal
Diturunkannya masker yang dipakainya untuk sekadar mengatur napas, kemudian kembali mendorong keranjang yang berisikan puluhan botol sabun cuci.
Penulis: Idayatul Rohmah | Editor: Daniel Ari Purnomo
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Sore itu kawasan jembatan Berok terlihat tak sepadat biasanya.
Pada jam-jam pulang para pekerja tersebut, bisa dibilang jalanan cukup lega.
Pembatasan kegiatan masyarakat (PKM) di Kota Semarang sebab pandemi Covid-19 telah membuat lalu lintas seakan jauh dari kepadatan.
Baca juga: Al Hasan Blak-blakan Syekh Ali Jaber Tak Ingin Dianggap Jadi Bapaknya
Baca juga: Ada Pocong Tidur di TKP Kecelakaan Kereta Api Tewaskan Polisi dan TNI di Sragen
Baca juga: Ayah Indah Permatasari Ungkap Alasan Ibu Nursyah Benci Arie Kriting: Awalnya Sih Suka
Baca juga: Ribuan Es Krim Terkontaminasi Virus Corona, Ini Mereknya
Hanya sebagian kecil kendaraan yang melintas di kawasan tersebut.
Sementara di sekitarnya, tampak beberapa pekerja harian seperti pengayuh becak dan pedagang kaki lima yang masih sabar menanti jika sewaktu-waktu ada pelanggan atau pembeli.
Begitu juga yang terlihat dari gerak Slamet Riyono (71).
Meski tampak tertatih-tatih karena kaki kirinya tak senormal kaki kanannya, lelaki tua itu terus berjalan mendorong sebuah troli yang telah dinaiki seorang gadis kecil.

Sesekali, ia berhenti.
Diturunkannya masker yang dipakainya untuk sekadar mengatur napas, kemudian kembali mendorong keranjang yang berisikan puluhan botol sabun cuci tersebut.
"Sabun cuci, Mbak?" kata dia menawarkan sabun cuci dengan penuh semangat di sekitar jembatan penghubung antara jalan Pemuda dan jalan Mpu Tantular, Sabtu (16/1/2021).
Bersama bocah balita itu, Slamet Riyono berkeliling kota Semarang menjajakan sabun dan beberapa perlengkapan untuk mencuci peralatan dapur.
Ia mengaku terpaksa mengajak Putri, cucunya, berkeliling menjajakan sabun cuci lantaran kata dia, tidak ada yang mengasuh balita berusia 3,5 tahun itu.
Ibu dan neneknya setiap hari bekerja sebagai buruh di toko sembako.
"Tidak ada yang momong (mengasuh), jadi yang bisa nyambi cuma saya karena kerja sendiri.
Ayahnya sudah tidak ada," ungkanya tegar.