BERITA NASIONAL
Pentingnya Kejujuran Beriklan Bagi Industri Jasa Keuangan untuk
Iklan-iklan jasa keuangan berbasis teknologi (fintech) ini banyak menyasar masyarakat kelas menengah bawah dengan menggunakan berbagai aplikasi media
Penulis: Erwin Ardian | Editor: Erwin Ardian
Dr Aqua juga menyinggung tentang semakin masifnya iklan-iklan jasa keuangan di ranah digital yang bertendensi melanggar aturan. OJK sendiri mencatat sebanyak 3.224 iklan yang melanggar ketentuan lembaga jasa keuangan periode Januari 2019 sampai September 2020.
Dilihat dari jenis pelanggarannya, 94 persen pelanggaran karena konten iklan tidak jelas. Lalu 5 persen dinilai memberikan informasi yang menyesatkan, dan 1 persen tidak akurat. Sementara pelanggaran terjadi paling banyak di sektor perbankan, diikuti industri keuangan nonbank (IKNB), dan paling sedikit dari sektor pasar modal.
“Hal ini harus menjadi perhatian kita semua. Bisnis dan industri media di zaman digital saat ini semakin berkembang cepat. Komunikasi yang semakin luas melalui digital dan media sosial, membuat perusahaan seperti periklanan maupun kehumasan semakin diminati. Akan tetapi, potensi terjadi pelanggaran juga cukup besar. Hal ini menjadi hal yang harus selalu kita waspadai,” ucap Dr Aqua.
Di sisi lain, ia menguraikan bahwa iklan media digital khususnya media sosial kini telah menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Keberadaan media sosial semakin menguat dengan adanya beragam aplikasi media sosial, seperti Facebook, Instagram, dan Twitter juga Whatsapp.
“Aplikasi media sosial ini digunakan secara luas, dengan berbagai motif, mulai dari motif pertemanan, motif hiburan, motif mencari informasi, motif membangun solidaritas dan bahkan juga digunakan untuk motif ekonomi, seperti digunakan sebagai ajang promosi produk atau jasa termasuk sektor jasa keuangan. Menurut riset, tiga media sosial ini menjadi aplikasi media sosial yang popular di Indonesia, termasuk dalam pemasaran produk,” kata Dr Aqua menguraikan.
Dalam media sosial kita sudah tidak asing lagi dengan kata endorsement atau beriklan dengan menggunakan publik figur sebagai cara memperkenalkan produk milik kita kepada khalayak. Hal ini dapat dibilang metode beriklan yang efektif dalam menarik konsumen agar kenal dan membeli produk kita.
“Namun, hal ini juga rentan menimbulkan pelanggran etika karena sosok yang dijadikan endorser atau influencer lebih dipertimbangkan karena jumlah pengikut atau follower-nya yang banyak. Di antara mereka ada yang kurang memperhatikan kesantunan dan kejujurannya dalam ruang sosial masyarakat. Sehingga akhirnya perilaku tersebut dapat merugikan masyarakat," tambah Dr Aqua.
Dalam konteks digital, iklan yang ada banyak yang melakukan pelanggaran. “Hal ini disebabkan ekosistem digital memungkinkan minimnya kontrol dalam media ini. Komunikasi di ranah digital atau media sosial bisa sekaligus merupakan komunikasi personal, interpersonal, dan bahkan komunikasi massa. Kemudian pilihan atau opsi mau masuk ke ranah apa dalam jenis komunikasi itu sepenuhnya di tangan pengguna atau user. Belum lagi kalau kita berbicara tentang apa yang disebut dengan user generated content yakni konten-konten komunikasi yang dihasilkan oleh pengguna media itu sendiri. Di sini tidak ada yang bertindak sebagai gate keeper atau editor. Maka potensi pelanggaran pun menjadi sangat besar,” pungkas Dr Aqua. (*)
Baca juga: Mantan Asisten Conte di Juventus dan Chelsea, Jadi Pelatih Persija, Ini Durasi Kontraknya
Baca juga: Ingat Penganiayaan Perawat RS Siloam yang Viral? Begini Nasib Pelaku saat Menjalani Sidang Perdana
Baca juga: Coffe Shop Menjamur di Kota Semarang, Anak SMA Dilatih Jadi Barista
Baca juga: Fakta di Balik Viralnya Video Bocah SD Menyeberang Sungai dengan Bergelantungan di Rotan