OPINI
OPINI Tasroh : Membangun Kepatuhan LHKPN
Dalam catatan penulis setidaknya Ketua KPK, Firli Bahuri, sudah puluhan kali mengingatkan agar para penyelenggara Negara bergegas patuh
Apalagi dengan system online sekarang ini, dimana semua laporan harta kekayaan cenderung hanya dijawab dengan mekanisme online (responding mechanical mechines), seperti disebutkan pakar Administrasi Negara dari UGM, Prof. Muchsan, (2021) bahwa dokumen LHKPN tidak benar-benar dikajiteliti detail-detailnya, dan 80% selalu dijawab oncall secara online.
Akibatnya secara langsung menurunkan tingkat kepatuhan LHKPN secara keseluruhan. Padahal semestinya, setiap lembar dokumen atau angka-angka yang muncul dalam LHKPN secara langsung bisa ditelitikaji oleh KPK sekaligus mendapatkan respon balik apa status dan langkah yang harus dilakukan penyelenggara Negara jika dokumen laporannnya kurang tepat apalagi cenderung berpotensi melakukan pelanggaran administrasi dan bahkan hokum. Kalau pun terdapat data/dokumen yang ‘mencurigakan’ biasanya hanya karena random sampling an sich, sehingga tak bisa dijadikan rujukan standar pemeriksaan LHKPN dimaksud.
Ketiga, nihilnya intra&inter Monitoring di lingkungan para pejabat /penyelenggara itu sendiri. Atas nama ‘hak asasi’, LHKPN pun tidak pernah dimonitor oleh pimpinan instansi/lembaga secara berjenjang sehingga sering hanya memenuhi standar administrasi Negara, tanpa memenuhi standar hokum administrasi Negara itu sendiri. Penyelenggara Negara yang bekerja disuatu instansi publik sejatinya berperan ‘saling mengawasi’, check and balances diantara dan antar mereka di lingkungan kerja masing-masing.
Namun biasanya jika dokumen LHKPN disodorkan ke pimpinan unit kerja dimana penyelenggara Negara bekerja, pimpinan dan jajaran terkait bersikap ‘masa bodoh’ atau sering dengan adagium ‘emang gue pikiran’.
Akibatnya fatal! LHKPN menjadi dokumen mati-pasif dan sering diperlakukan semena-mena bahkan jadi hotbed kecoa di perpusataan baik offline atau online. Padahal kalau kita melihat praktik ‘perawaran’ (baca pemeriksaaan) dokumen semacam LHKPN di Jepang, misalnya, disamping diuri-uri untuk dikajiteliti sepanjang waktu, LHKPN di Jepang diuji setiap saat oleh pimpinan di tiap unit kerja dimana penyelenggara Negara bekerja.
Dengan paradigm saling ‘memonitor’ diantara para pejabat dan sesama pejabat di lingkungan kerja masing-masing, bukan dalam rangka menciptakan skwasangka dan kecurigaan yang tak perlu, tetapi semata-mata membangun nilai check & balances diantara penyelenggara Negara sehingga berkembang self-contrlling yang berkelanjutan, transparan dan akuntabel.
Sayangnya, KPK sepertinya tidak/belum menerapkan mechanism dan system ‘saling mengawasi’ demikian sehingga selalu kerepotan melakukan ‘pemeriksaan’ atas LHKPNnya sendiri.
Total Detective Reports
Pakar Administrasi Negara dari Ohio University, Samuel Joe dalam “Enhanching Bureucrat Discilines” (2020) tegas menyatakan kepatuhan dan disiplin dalam segala standar birokrasi, secara langsung akan meningkatkan daya saing suatu bangsa/Negara.
Maknanya, ketidakpatuhan atau kelalaian baik sengaja atau tidak disengaja jika terus-menerus dijalankan minus sanksi yang memadai, akan menjadi ‘budaya dan gaya bekerja’ para penyelenggara Negara yang tidak kondusif untuk kemajuan suatu Negara/bangsa.
Atas dasar hal tersebut, KPK dan seluruh lembaga/instansi Negara/pemerintahan bersama-sama bekerja sama membangunpraksiskan ‘budaya patuh’ dan disiplin’ termasuk dalam hal LHKPN ke depan agar kelalaian LHKPN yang terus terjadi setiap tahun segera berakhir.
Untuk alasan tersebut, KPK disamping wajib memperkuat kompetensi dan ketersediaan Sumber daya untuk menjalankan peran,tugas dan fungsinya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi, juga secara konsisten harus mengembangkan model dan system pengawasan pelaporan beraroma ‘detective’ (penyeledikan intens), agar setiap dokumen/laporan bisa bermakna ganda: yakni tidak hanya memenuhi prosedur dan standar pelaporan, tetapi secara konsisten diperiksa kualitasnya secara berkelanjutan, tanpa menunggu terjadiboomingkasus yang beraroma pelanggaran hukum. Jika semua LHKPN diperlakukan dengan pendekatan total detective report tersebut, akan mendorong penyelenggara Negara menyajikan laporan yang komprehensif sekaligus lengkap dan jujur (integrity reports). KPK perlu merumuskan juga standar ‘kejujuran LHKPN” di masa datang.
Pelaporan beraroma ‘detektif’ secara total (baca: terintegrasi), demikian mendesak dikembangterapkan KPK dan jajaran penegak hukum lainnya, karena seperti disebutkan Joe diatas, semua pelanggaran berawal dari ketidakpatuhan laporan/dokumen”.
Atas dasar hal tersebut, meskipun dinamia lingkungan strategis masih dirundung serang covid 19 yang entah kapan berakhir, KPK sebagai garda depan wajib terus meningkatkan kompetensinya, termasuk di dalamnya bergegas merubah mekanisme dan system kerja pelaporan dalam LHKPN agar para penyelenggara patuh, taat dan disiplin tinggi.
Penulis berkeyakinan untuk membangun kadar kepatuhan LHKPN, KPK sebagai subjek penuh untuk melahirkan inovasi-kreasi baru LHKPN agar tingkat kepatuhan para penyelenggara Negara meningkat di tahun-tahun mendatang. Tak jamannya lagi menyalahkan pihak luar, karena sesungguhnya semua kelalaian LHKPN itu justru dipacu oleh minimnya kompetensi dalam tubuh KPK sendiri sehingga mudah dipermainkan atau jadi media ‘main-main’ para penyelenggara Negara. Kita tunggu inovasi KPK merespon ketidakpatuhan para penyelenggara Negara khususnya dalam LHKPN tersebut. (*)
Baca juga: OPINI Tasroh : Awas Limbah Medis Covid-19
Baca juga: OPINI Tasroh : Covid 19 dan Penguatan Anggaran
Baca juga: Opini Tasroh: Depresi Sosial, Hidup Dalam Seolah-olah