Wonosobo Hebat
Selamat Datang di Superhub Pemkab Wonosobo

Berita Kendal

Mengenal Tradisi 'Weh-wehan' Kaliwungu Kendal di Momen Maulid Nabi, Tetap Eksis hingga Ratusan Tahun

Masyarakat Kaliwungu, Kabupaten Kendal mempunyai cara unik dan menarik dalam menyambut peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW. 

Penulis: Saiful Ma sum | Editor: moh anhar
TRIBUN JATENG/SAIFUL MA'SUM
Masyarakat Kaliwungu Kendal memberikan makanan dan jajanan dalam tradisi 'Weh-wehan' saat datang hari kelahiran Nabi Muhammad, Selasa (19/10/2021). 

TRIBUNJATENG.COM, KENDAL - Masyarakat Kaliwungu, Kabupaten Kendal mempunyai cara unik dan menarik dalam menyambut peringatan Kelahiran Nabi Muhammad SAW yang biasa diperingati setiap 12 Rabiul Awal. 

Warga Kecamatan Kaliwungu akan sibuk mempersiapkan makanan, jajanan, hingga minuman yang dibagikan kepada warga lain cuma-cuma.

Biasanya, apa pun bentuknya yang diberikan bakal mendapatkan makanan kembalian meskipun dalam bentuk yang berbeda.

Tradisi ini disebut dengan 'Weh-wehan' yang berasal dari kata 'aweh' artinya memberi. 

Baca juga: Debt Colletor Pinjol Ngotot Tagih Nasabah hingga Sebar Teror, Ternyata Sebesar Ini Komisi Didapat

Baca juga: Polda Jateng Tetapkan Tersangka Perempuan Debt Collector Pinjol, Modus Teror dan Tebar Pornografi

Baca juga: Detik-detik Mobil Merah Terguling Seusai Salip Truk dari Kiri Hingga Pindah Jalur

Baca juga: Ditreskrimsus Polda Jateng-BKSDA Bikin Posko Terpadu Pengaduan Satwa Liar Dilindungi di Solo

Tradisi yang masih eksis sampai saat ini masih dijalankan dengan baik, bahkan antusias masyarakat masih cukup tinggi.

Tradisi ini oleh masyarakat Kaliwungu, diartikan sebagai ungkapan rasa syukur melalui bersedekah atas nikmat yang diberikan Allah SWT, sekaligus menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad. 

Sebuah tradisi yang tidak dimiliki warga kecamatan lain di Kabupaten Kendal.

Tradisi menggerakkan masyarakat untuk saling memberi kepada sesama di momen mulia bagi umat muslim.

Tradisi yang juga bertujuan untuk memupuk rasa persaudaraan antar penduduk supaya tetap hidup rukun berdampingan.

Weh-wehan biasa diperingati sejak sore hingga malam 12 Rabiul Awal.

Bahkan, sebagian masyarakat memulainya sejak siang hari, lebih awal dari pada biasanya sebagai ungkapan rasa semangat dan bahagia. 

Hal unik lainnya dalam tradisi ini adalah hadirnya makanan khas daerah Kaliwungu yang tetap dijaga dan dilestarikan dengan baik.

Seperti contoh Sumpil, sebuah makanan khas yang terbuat dari bahan dasar beras, dikemas dengan daun bambu, serta cara makannya dicampur dengan sambal kelapa.

Baca juga: Pemerintah Dukung Produk Dalam Negeri dalam Pengadaan Barang dan Jasa di Kementerian

Baca juga: Aplikasi Penghasil Uang CashCamel, Hanya Isi Survey Bisa Dapat Cuan

Baca juga: Video Harga Jagung Naik Petani Banjarnegara Menilai Untung Berkurang

Sumpil biasa dibuat setiap menjelang Maulid Nabi Muhammad untuk memeriahkan tradisi 'Weh-wehan'.

Selain itu, beberapa makanan khas lainnya seperti Ketan Abang Ijo, Serabi, Klepon, dan beberapa makanan khas lainnya turut dihadirkan.

Masyarakat juga menghiasi rumah sisi depan dengan lampu hias, dikenal dengan tradisi teng-tengan. 

Saat waktunya tiba, anak-anak hingga remaja akan berhamburan keluar rumah dengan membawa makanan yang sudah dipersiapkan.

Masyarakat akan saling tukar-menukar makanan dalam rangka bersedekah. 

Seorang tokoh masyarakat asli Kaliwungu, Mukh Mustamsikin (57) mengatakan, hingga saat ini antusias masyarakat untuk menghidupkan tradisi Weh-wehan masih tinggi.

Sehingga, adat istiadat yang konon digaungkan para ulama Kaliwungu agar penduduk memperbanyak sedekah saat menyambut Hari Kelahiran Nabi Muhammad tetap eksis sampai sekarang.

Tokoh masyarakat Kaliwungu Kendal, Mustamsikin menerima banyak makanan dan jajanan dalam tradisi 'Weh-wehan' untuk menyemarakkan hari kelahiran Nabi Muhammad, Selasa (19/10/2021).
Tokoh masyarakat Kaliwungu Kendal, Mustamsikin menerima banyak makanan dan jajanan dalam tradisi 'Weh-wehan' untuk menyemarakkan hari kelahiran Nabi Muhammad, Selasa (19/10/2021). (TRIBUN JATENG/SAIFUL MA'SUM)

Bahkan, pengasuh salah satu ponpes tahfidz di Kaliwungu itu menyebut, nilai dari tradisi ini masih tetap terjaga hingga sekarang.

"Weh-wehan ini berawal dari istilah 'aweh-awehan', artinya dari sana memberi, dari sini juga memberi. Ini sudah ada sejak saya kecil, dan konon ini adalah hasil fatwa kiai yang disampaikan kepada masyarakat dan dilaksanakan sampai saat ini," terangnya saat ditemui di kediamannya, Selasa (19/10/2021).

Kata dia, tak ada yang berubah dari sisi cara penyampaian makanan satu sama lain.

Warga yang lebih muda akan berkunjung ke penduduk lain yang lebih tua untuk menghantarkan makanan/jajanan.

Sebagian masyarakat berinovasi dengan mengiasi rumahnya dan jalan sekitar.

Di tempat itu, penduduk akan menggelar jajanan di depan rumah masing-masing di setiap gang. 

Antar warga akan saling tukar makanan sampai makanan yang disiapkan habis dibagikan. 

"Karena zamannya banyak kreativitas, tradisi ini kemudian diimporovisasi agar terkonsep lebih menarik, namun nilainya sama," tutur Mustamsikin.

Makanan Khas Mulai Bergeser

Seiring perkembangan zaman, tradisi Weh-wehan di Kaliwungu, Kendal tak seutuhnya sama sebagaimana yang terjadi pada zaman dahulu.

Mustamsikin menjelaskan, saat dia kecil, tradisi tahunan ini diperingati dengan sederhana, namun kental dengan mengenalkan tradisi makanan khas Kaliwungu.

Setiap keluarga menyempatkan waktu satu hari untuk membuat makanan khas yang akan dibagi-bagikan.

Usaha itu membuat nilai tambah tradisi menjadi lebih berkesan dengan mengenalkan makanan-makanan asli daerah.

"Sekarang, makanan khas sudah bergeser. Rata-rata jajanan yang diberikan produk toko. Sedangkan makanan asli Kaliwungu tinggal sedikit," terangnya.

Tradisi lain berupa Teng-tengan, kata dia, juga hampir punah. 

Padahal, tradisi dengan menghiasi rumah dan jalanan menggunakan lampu hias dari kertas ini menjadi cikal bakal berlangsungnya Weh-wehan.

Tetapi, nilai dari sedekahnya masih tetap terjaga, sehingga masyarakat masih tetap antusias memeriahkan tradisi. 

"Prinsip, weh-wehan ini upaya menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad. Semua saling mengingatkan bersedekah sesuai anjuran Rasulullah, malamnya diisi dengan salawat," tuturnya.

Baca juga: Mahasiswa Unsoed Purwokerto Bahas Optimalisasi Energi Baru Terbarukan

Baca juga: ‎Berdiri di Tengah Pandemi, Bandar Seafood Kudus yang Tampung Korban PHK Siap Menggurita

Baca juga: DPU Geram Enam Pohon Pule di Jalan Gajahmada Semarang Mati, Disiram Solar Oleh Oknum

Ia berharap, tradisi baik turun temurun dari para kiai ini bisa tetap dilestarikan oleh kaum remaja hingga kehidupan di masa datang.

Mustamsikin juga berharap, nantinya tradisi ini bisa ditularkan ke daerah-daerah lain agar semakin banyak warga yang bersedekah untuk sesama.

"Selain dipertahankan, tradisi ini akan lebih baik bisa dilestarikan ke berbagai daerah. Sekalipun bentuknya tidak sama persis, nilainya masih tetap utuh. Karena tidak dipungkiriadanya tuntutan zaman, namun inovasi yang dikembangkan tidak mengurangi nilai sedekahnya," harap Mustamsikin. (*)
 

Sumber: Tribun Jateng
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved