Berita Semarang
Sekolah Semarang Belum Ramah Bagi ADHA, Oknum Guru Masih Lakukan Stigma dan Diskriminasi
Anan memilih bermain perosotan anak daripada menyentuh buku tematik tumbuh-tumbuhan.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: sujarwo
"Iya diskriminasi itu dilakukan seorang guru. Meski diskriminasi tersebut dilakukan di luar lingkungan sekolah," papar Magdalena.
Ternyata situasi tersebut tak hanya di Ibu Kota Jawa Tengah, di berbagai daerah juga terjadi hal yang serupa.
Terbaru, Magdalena masih berupaya menyelesaikan persoalan stigma dan diskriminasi yang dialami oleh ADHA yang melibatkan seorang guru.
Kasus itu berupa seorang guru telah membully ADHA sekaligus melarang ADHA agar tak perlu sekolah.
Ia tak mau menyebut kasus itu terjadi di daerah mana, yang jelas di sebuah Kabupaten di Jawa Tengah.
"Ya waktu dekat akan kami coba selesaikan kasus itu. Rencana kami tempuh secara kekeluargaan," ungkapnya.
Melihat kondisi ADHA yang masih memperoleh stigma dan diskriminasi, Ia harus berpikir dua kali saat hendaknya menyekolahkan ADHA di lembaga pendidikan formal.
Setiap akan menyekolahkan ADHA beragam hal harus dipertimbangkan olehnya.
Di antaranya harus mengenali terlebih dahulu sosok guru, kepala sekolah, ketua Yayasan, hingga wali muridnya.
"Kami harus kenal dulu terhadap warga sekolah tujuannya untuk meminimalisir stigma dan diskriminasi," katanya.
Mangdalena tak tahu entah sampai kapan akan bersikap seperti itu setiap kali hendak menyekolahkan ADHA.
Ia berharap, guru saat ini lebih memahami soal HIV AIDS terlebih dahulu.
Sebab, sewaktu guru telah memahami secara menyeluruh apa itu HIV maka tak ada rasa takut terhadap ADHA.
Semisal ADHA jatuh saat bermain di sekolah hingga mengeluarkan darah. Bagi guru yang paham tetap mau menolong tanpa rasa takut sebab tahu seluk beluk penularan HIV.
Yang mana sejauh penolong tak memiliki luka terbuka saat menangani ADHA yang memiliki luka berdarah maka tak akan ketularan.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/jateng/foto/bank/originals/anak-hiv-tengah-belajar1.jpg)