Opini
Minyak Goreng Naik Lagi
Intip goreng buatan Mokhlas, berbeda dengan yang dijual di daerah Kaliwungu Kendal atau Solo dan Boyolali.
Kios atau toko kulakan sembako semacam milik mbak Yanti di Weleri, rata-rata mengambil keuntungan Rp 300- 500 per kg. Jika sepekan biasa menjual 1-2 tangki minyak goreng curah, maka berapa kerugian yang harus ditanggung.
Minyak goreng bagi toko sembako, ibarat semen bagi toko bangunan. Tidak bisa mengambil untung banyak. Tidak menjual minyak goreng pelanggan lari.
Tetapi semakin banyak menjual di saat seperti ini, semakin besar kerugian yang harus ditanggung.
Nampaknya harga minyak goreng yang naik tajam sejak bulan Oktober lalu belum ada tanda- tanda akan menurun.
Perlu Kebijakan Tepat
Sebagaimana disampaikan pemerintah melalui Dirjen Perdagangan Dalam Negeri pada tanggal 24/11/2021, terdapat 3 faktor penyebab naiknya harga minyak goreng.
Pertama, adanya penurunan pasokan bahan baku Crude Palm Oil (CPO). Kedua, adanya krisis energi di Eropa. Dan ketiga, banyaknya produsen minyak goreng di Indonesia yang belum terafiliasi dengan kebun sawit penghasil CPO.
Belum pernah terjadi kenaikan harga yang menggila seperti sekarang. Kalau ada kenaikan harga minyak goreng, biasanya menjelang idul fitri atau liburan natal dan tahun baru.
Lebih disebabkan adanya kenaikan permintaan di pasar. Itupun terjadi kenaikan secara wajar dan sudah berpuluh puluh tahun lamanya. Paling banyak Rp 500-1.000 per kilogram serta berlangsung hanya 2-3 pekan.
Kami mencoba membuat analisa 'enteng-entengan' (ringan) memakai nalar publik yang awam terhadap fenomena naiknya harga minyak goreng yang sangat tidak wajar.
Pertama, terhadap faktor menurunnya pasokan CPO sebagai bahan baku minyak goreng. Luas lahan perkebunan sawit Indonesia 15.000.000. hektar lebih. Membentang dari Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan merambah Papua berbatasan dengan negara tetangga PNG. Dan menjadi perkebunan sawit terluas di dunia.
Jika saja terjadi penurunan produksi CPO, apa ya benar menjadikan penyebab utama tidak tercukupinya kebutuhan bahan baku industri minyak goreng di Indonesia. Tidak adakah koordinasi yang baik antara Kemendag cq Dirjen PDN dengan Kementan cq Dirjen Perkebunan dan Kementrian Perindustrian.
Kedua, adanya krisis energi di Eropa. Seperti diketahui bahwa CPO selain sebagai bahan baku minyak goreng, juga menjadi bahan baku biodiesel sebagai pengganti BBM berbasis fosil (Solar, Dexlite, dll).
Jika terlalu banyak CPO yang dijual ke Eropa, lantas sejauh mana jiwa nasionalisme para pemilik perkebunan sawit. Mereka menanam sawit di tanah air kita. Mereka mendapat konsesi lahan jutaan hektar untuk membangun imperium bisnis sawit di Indonesia. Sementara jutaan rakyat pelaku usaha mikro yang membutuhkan minyak goreng sulit bernafas hanya untuk sekedar mempertahankan hidup yang jauh dari kecukupan pangan, papan dan sandang.
Kami coba googling data shahih atas 10-20 perusahaan perkebunan sawit yang menguasai lahan sawit terbesar di seluruh nusantara. Ternyata sebagian besar berkantor pusat di Singapura. Bahkan sebagian melakukan listing saham publik pada pasar saham disana. Sebuah oligarkhi ekonomi yang nyaris sempurna.