Berita Semarang
Yasanti Beberkan Nasib Apes Masih Dialami Buruh Perempuan - Alami Keguguran Hingga Tak Diberi Cuti
Kondisi kespro buruh perempuan yang tidak diperhatikan dapat berdampak dalam jangka waktu panjang. Berikut beberapa contohnya.
Penulis: iwan Arifianto | Editor: deni setiawan
TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Yayasan Annisa Swasti (Yasanti) menilai, masih banyak pabrik yang abai terhadap kesehatan reproduksi (kespro) para pekerja.
Imbasnya, masih banyak kejadian buruh pabrik keguguran akibat beban kerja berlebihan.
Bahkan, ada kasus buruh melahirkan saat bekerja yang berujung pada kematian bayi.
Baca juga: Mahasiswi NTB Meninggal di Kosan Semarang, Posisi Tidur Miring Peluk Guling
Baca juga: Covid-19 di Semarang Tembus 87 Kasus, Ada Klaster Perkantoran hingga Sekolah
Baca juga: Unissula Semarang Targetkan 5.000 Mahasiswa Baru
Baca juga: Uji Coba Parkir Elektronik di Semarang, Masyarakat Masih Perlu Bantuan Karena Baru Pertama
"Kami tak ada angka pasti kasus buruh keguguran, tapi kasus itu banyak."
"Satu pabrik bisa ada tiga sampai lima kasus," papar Koordinator Divisi Advokasi dan Pengorganisasian Yasanti, Rima Astuti kepada Tribunjateng.com, Rabu (2/2/2022).
Lembaga yang berfokus terhadap pemberdayaan perempuan pekerja itu menyebut, kondisi kespro buruh perempuan yang tidak diperhatikan dapat berdampak dalam jangka waktu panjang.
Buruh dapat terserang beragam penyakit akibat kespro diabaikan.
Di antaranya kanker rahim, kanker payudara, dan lainnya.
"Penyakit itu muncul ada kaitannya tidak berdiri sendiri, buruh perempuan yang mengalami beban kerja berlebih seperti harus lembur 12 jam dapat memicu beragam penyakit," ungkap Rima.
Selain penyakit jangka panjang, dalam jangka pendek kerja berlebih bagi perempuan juga berdampak negatif.
Seperti saat buruh perempuan keguguran yang seharusnya mendapatkan hak cuti 1,5 bulan tapi perusahaan tak memenuhinya.
Hal itu menimpa baik buruh perempuan berstatus karyawan maupun kontrak.
"Kasus itu juga banyak terjadi, bahkan pernah ada kasus buruh garmen anaknya meninggal saat dilahirkan."
"Dia tak dapat cuti, padahal kondisi buruh itu masih lemah paskamelahirkan, tentu miris sekali," jelasnya.
Padahal hak kesehatan reproduksi perempuan sudah dijamin dalam undang-undang di antaranya
hak istirahat atau cuti haid, cuti hamil, dan melahirkan.
Berikutnya cuti keguguran, kesempatan menyusui dan fasilitas menyusui.
Larangan mempekerjakan pekerja perempuan hamil pada kondisi berbahaya.
Larangan PHK karena hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui.
Ketentuan mempekerjakan pekerja perempuan di malam hari, kekerasan berbasis gender (Perlindungan dari Kekerasan, Pelecehan dan Diskriminasi).
Rima mengatakan, untuk hak cuti haid buruh perempuan bisa mengambilnya saat hari pertama dan kedua selama haid.
Akan tetapi dalam praktiknya cuti haid itu diganti uang oleh perusahaan.
"Kami tidak sepakat terkait hal itu sebab cuti haid sebagai kebutuhan kesehatan reproduksi perempuan," bebernya.
Pihaknya juga tak memungkiri masih ada perusahaan yang memenuhi hak-hak buruh perempuan.
Kendati demikian, masih banyak pabrik yang abai sehingga perlu adanya sistem pengawasan yang baik dari Pemerintah dalam hal ini Disnakertans Jateng.
"Pengawasan masih kurang jadi kami lebih sepakat bahwa Perjanjian Kerja Bersama (PKB) menjadi advokasi penting di perusahaan," tandasnya. (*)
Baca juga: Polisi Tangkap Adam Deni Setelah Viral Foto Jari Tengah ke Jokowi
Baca juga: Breaking News: Tiga Pemain PSIS Semarang Positif Covid-19, Jelang Laga Lawan Persebaya Surabaya
Baca juga: Dewi Susilo Budiharjo : PSMTI Tekankan Pentingnya Persatuan Untuk Kemajuan Bangsa
Baca juga: Kasus Corona di Banyumas Meningkat Pesat: 192 kasus positif aktif, 7 orang lansia