Berita Semarang
Siswi SD di Semarang Dijual Rp 500 Ribu hingga Trauma, Ayahnya Bingung Pelaku Dilepaskan
Kondisi ini membuat orangtua korban merasa tak terima. Apalagi putrinya mengalami trauma hingga tidak mau berangkat sekolah
Penulis: iwan Arifianto | Editor: muslimah
"Hal tersebut menjadi laporan di kepolisian ditolak karena kurangnya alat bukti yang memperkuat seseorang sebagi tersangka," katanya.
Meski demikian, ia mengatakan, kepolisian seharusnya melakukan analisa hukum yang tepat bagi kasus tersebut agar penerapan pasal yang diberikan kepada pelaku sesuai aturan hukum yang berlaku sehingga ada keadilan bagi korban.
Kemudian memberikan informasi hak-hak korban antara lain pemulihan psikologis, hak memperoleh bantuan hukum tanpa stigma dan diskriminasi selama proses hukum.
"Pemulihan psikologis bagi korban sangat penting dan perlu karena hal itu sebagai hak korban yang telah diatur di perundang-undangan."
"Apalagi korban masih di bawah umur," ucapnya.
Di samping itu, pihaknya kurun waktu tahun 2020 sampai 2021 pernah mendampingi kasus prostitusi hingga tahap penyidikan.
Kasus itu menjerat seorang mucikari yang dikenakan sanski pidana pasal 296 KUHP.
"Namun ketika berkas kasus akan dilimpahkan ke pengadilan pelaku meninggal dunia sehingga kasus itu batal demi hukum," jelasnya.
Kasus prostitusi online melibatkan anak SD kelas berinisial SL (13) menambah deretan panjang kasus tersebut di Kota Semarang.
Catatan LBH Apik 2021 menyebutkan, angka kekerasan seksual dalam prostitusi mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.
Di tahun 2020 angka kasus kekerasan seksual dalam prostitusi di angka 45 kasus.
Di tahun 2021 terdapat 60 kasus.
"Puluhan kasus melibatkan perempuan dan anak perempuan yang disudutkan sebagai obyek seksual," tegas Ayu.
Sedangkan mucikari dan pengguna jasa prostitusi tidak dijerat hukuman sehingga hal itu tidak memberikan rasa keadilan bagi korban.
"Tentu hal itu tidak adil bagi korban," imbuhnya.